045 - Ahlu Sunnah tidak ‘gelojoh’ dalam ketaatan kepada pemerintah -Siri 1-

Ahlu Sunnah tidak ‘gelojoh’ dalam ketaatan kepada pemerintah Siri 1 – Cara Menghadapi Pemerintah-

Syaikh Shalih Ibn Fauzan al-Fauzan -hafizahullah- ditanya :

Soalan : Bagaimana manhaj yang benar dalam memberi nasihat terutama kepada pemerintah, apakah dengan mendedahkan perbuatan mereka yang mungkar di atas mimbar-mimbar ataukah menasihati mereka secara sembunyi-sembunyi? Saya mengharapkan perjelasan tentang manhaj yang benar dalam masalah ini?

Jawaban : Kemaksuman itu tidak dimiliki oleh seseorangpun kecuali rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para penguasa itu juga manusia biasa yang mempunyai kesalahan. Tidak diragukan bahawa mereka juga punya kesalahan dan mereka tidaklah maksum. Akan tetapi kita tidak boleh menjadikan kesalahan mereka sebagai celah untuk mendedahkan secara luas dan untuk membangkang dari ketaatan kepada mereka walaupun mereka berbuat kecurangan, kezaliman dan kemaksiatan selama mereka tidak berbuat kekufuran yang nyata sebagaimana hal itu telah diperintahkan oleh Nabi. Walaupun mereka melakukan kemaksiatan, kecurangan dan kezaliman sesungguhnya dalam kesabaran mentaati mereka menjadikan kesatuan kalimat, bersatunya kaum muslimin serta terjaganya negeri mereka.

Sementara menyelisihi dan tidak mentaati para penguasa tersebut terdapat kerosakan yang jauh lebih besar dari kemungkaran yang ada pada mereka. Dengan sikap pembangkangan tersebut akan terjadi kerosakan yang lebih besar dari kemungkaran yang mereka lakukan selama kemungkaran itu belum kekafiran dan kemusyrikan.

Kita juga tidak mengatakan bahawa perbuatan yang dilakukan oleh penguasa tersebut boleh didiamkan begitu saja. Tidak, bahkan wajib diubati. Akan tetapi diperbaiki dengan cara yang benar iaitu dengan menasihati dan mengirim surat kepada mereka secara diam-diam.

Bukannya dengan tulisan yang disertai dengan tanda tangan dari orang ramai kemudian disebarluaskan kepada masyarakat. Ini tentu tidak boleh, tetapi tulis sepucuk surat secara rahsia yang berisi nasihat kemudian diserahkan kepada penguasa atau mengajaknya bicara dengan lisan (berdepan-depan).

Adapun dengan tulisan dan dicetak dan disebarluaskan kepada masyarakat, ini merupakan perbuatan yang dilarang kerana penyarluasan aib penguasa secara umum. Perbuatan ini sama seperti berucap di atas mimbar atau bahkan lebih parah lagi. Kerana ucapan sangat mungkin akan dilupakan, berbeza dengan halnya tulisan yang sentiasa ada dan tersebar luas. Sehingga ini bukanlah sesuatu yang benar.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat” kami para sahabat bertanya : Bagi siapa ya Rasulullah? Beliau menjawab : bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin serta orang awamnya.” (HR Muslim no. 55)

Dalam Hadits lain : Sesungguhnya Allah meredhai kalian 3 perkara, supaya kalian menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun jua, kalian semua bersatu padu dengan tali Allah dan jangan bercerai-berai serta kalian menasihati orang yang telah Allah berikan kekuasaan untuk mengurusi urusan kalian.” (Shahih : al-Muwattha Imam Malik 2/756, Ahmad 2/367)

Orang yang paling berhak untuk menasihati penguasa adalah para ulama, ahli syura dan ahlul hallu wal ‘aqdi. Allah berfiman

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (QS. an-Nisaa’ 4:83)

Tidaklah setiap orang pantas melakukan hal ini. tidak pula melariskan dan mendedahkan kesalahan para penguasa termasuk dalma upaya nasihat sama sekali. Bahkan itu merupakan tindakan penyebarluasan kemungkaran dan kejelekan di tengah-tengah kaum muslimin. Itu bukanlah manhaj salafusoleh walaupun niat dari orang yang melakukannya itu baik. Itu merupakan tindakan mengingkari kemungkaran mengikut anggapannya, tetapi perbuatannya lebih ingkar dari apa yang diingkari. Terkadang mengingkari kemungkaran itu justeru merupakan perbuatan mungkar jika tidak dilakukan di atas jalan disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla dan rasul-Nya.

Kerana dia tidak mengikut jalan rasul yang syar’i yang telah beliau gariskan, di mana beiau bersabda: “Barangsiapa yang melihat di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaknya dia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan lisannya. Jika tidak mampu juga dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim no. 49)

Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam membahagikan manusia kepada tiga bahagian :

Di antara mereka ada yang mampu menghilangkan kemungkaran dengan tangannya iaitu orang yang memiliki kekuasaan ertinya penguasa atau orang yang diberikan urusan tersebut berupa badan-badan hukum, para pemimpin dan para tokoh.

Bagian kedua adalah orang yang mempunyai ilmu tetapi tidak mempunyai kekuasaan, maka dia mengingkari dengan menjelaskan memberikan nasihat dan hikmah dan nasihat yang baik juga menyampaikan kepada penguasa melalui lembaga peradilan.

Bagian ketiga adalah orang yang tidak mempunyai ilmu juga kekuasaan maka dia mengingkari dengan hatinya dengan membenci pelakunnya serta meninggalkannya. (-selesai jawaban- al-Ajwibah Mufidah, edisi terjemahan Jawab Tuntas Masalah Manhaj Pstka al-Haura’ ms. 57-61 -dengan sedikit perubahan bahasa-)

Adakah Syaikh memahami nash hadits secara gelojoh?

Islam anda tafsiran siapa? Persoalan yang ditujukan kepada kaum muslimin seluruhnya tetapi khusus membicarakan pemahaman kaum salaf dari negeri Yaman dan Madinah. Dalam menyingkap persoalan tersebut, saya berkeinginan untuk menyentuh isu pemerintahan ini sebagaimana yang telah dinyatakan Syaikh Shalih al-Fauzan, dan adakah Syaikh dan juga Ulama dari jazirah ini memahami isu pemerintahan sebagaimana yang difahami oleh salaf terdahulu?

Merujuk kembali kepada tajuk artikel ‘Islam anda tafsiran siapa’, penulis artikel tersebut menyeru kaum muslimin supaya kembali kepada al-Quran dan Sunnah ‘ala fahmis salaf-jika benar demikian seruannya- .Persoalan, adakah Syaikh dan Ulama dari Jazirah ini memahami persoalan ini sebagaimana pahamnya para salaf?

Saya rincikan hal ini satu persatu.

Persoalan “adakah poin-poin yang disampaikan oleh syaikh itu selari dengan pemahaman para salaf?”

Pertama: Pemerintah yang melakukan kezaliman terhadap rakyatnya, apakah perlu ditaati atau perlu dicabut ketaatan darinya? Syaikh menyatakan bahawa mereka masih perlu ditaati selagi tidak terlihat kekufuran yang nyata sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kedua: Adakah kita perlu sabar terhadap pemerintah yang zalim, adakah buah pikiran ini hasil dari pikiran syaikh atau ianya telah tsabit dari nash?

Jawaban:

Pertama: Bagi orang yang memiliki bashirah, mata hati yang bersih untuk meneliti nash dan berjalan di atas manhaj salaf yang murni sebagaimana warisan yang telah dijelajahi oleh sahabat nabi dan juga generasi setelah mereka, sepertimana jua yang ditelusuri oleh Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan dan ulama Jazirah arab lainnya, pasti orang-orang tersebut memahami bahawa tidak boleh mencabut ketaatan dari pemerintah selagi tidak terlihat kekufuran yang nyata.

Syaikh juga mengisyaratkan bahawa ketaatan itu dicabut setelah jelasnya kekufuran sebagaimana yang telah jelas di dalam nash :
Nabi mengundang kami kemudian kami membaiat beliau untuk sentiasa mendengar dan taat (kepada penguasa) baik dalam keadaan lapang dan terpaksa, susah dan mudah sehinggakan mereka (penguasa) mengutamakan diri mereka sendiri atas kami serta agar kami tidak mencabut urusan itu (keuasaan) atas pemiliknya kecuali kalian mempunyai kekafiran yang nyata yang kalian mempunyai buktinya dari sisi Allah.” (Fathul Bari 13/5)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal menambahkan : walaupun kamu melihat dirimu –kamu meyakini bahawa dirimu- benar dalam masalah itu. Janganlah kamu melakukan berdasarkan prasangka itu bahkan tetaplah mendengar dan taat sampai dia mendatangimu, tanpa kamu keluar dari ketaan terhadapnya.

Dalam riwayat yang lain seperti yang dibawakan oleh al-Imam Ahmad dan al-Imam Ibnu Hibban “ Walaupun mereka memakan hartamu dan memukul punggungmu.” (Fathul Bari 13/8, dinukil dari Jawab Tuntas Masalah Manhaj)
Kedua : Kesabaran dalam menghadapi pemerintah yang zalim

Syaikh mengatakan : Walaupun mereka melakukan kemaksiatan, kecurangan dan kezaliman sesungguhnya dalam kesabaran mentaati mereka menjadikan kesatuan kalimat, bersatunya kaum muslimin serta terjaganya negeri mereka. Syaikh Furaihan hafizhahullah -penyusun kepada kitab ini- meletakkan footnote pada poin ini dengan membawakan hadits
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma dari nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda : Barangsiapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dia benci, maka hendaknya dia bersabar. Kerana orang yang memisahkan diri dari jamaah walaupun sejengkal kemudian dia mati, maka matinya dalam keadaan jahiliyah. (Fathul Bari 13/8)

Juga hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu bahawa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : sesungguhnya kalian akan melihat setelahku sikap adanya sikap mementingkan diri sendiri dan perkara-perkara yang kalian ingkari, para sahabat bertanya “Jika demikian apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” beliau menjawab “Tunaikanlah hak mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah” (HR Bukhari no. 7054)
Dari nash-nash yang disampaikan dan juga jawaban berupa poin-poin dari Syaikh, adakah ianya selaras dengan pahamnya para salaf? Hal ini kita nilai dari hujah dan dalil yang diutarakan oleh para aimmatus salaf. Inilah pelajaran yang kita ambil dari aimmatus salaf seperti

Imam Hasan al-Bashri Rahimahullah:
Sungguh menghairankan orang yang takut kepada seorang raja atau suatu kezaliman setelah dia beriman dengan ayat ini. Ketahuilah demi Allah seandainya manusia bersabar kerana perintah Allah tatkala diuji, nescaya Allah akan menghilangkan kesusahan dari mereka, akan tetapi mereka tidak sabar dengan pedang, maka mereka diserahkan dengan rasa takut. Dan kami berlindung kepada Allah dari keburukan ujian. (Tafsir al-hasan 1/386, nukilan dari Keyakinan Imam Ahmad dalam Aqidah)
Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah berkata :
والسمع والطاعة للأئمة وأمير المؤمنين البر والفاجر ومن ولي الخلافة واجتمع الناس عليه ورضوا به ومن عليهم بالسيف حتى صار خليفة وسمي أمير المؤمنين

Mendengar dan taat dari para imam dan pemimpin kaum mukminin yang baik maupun buruk. Dan kepada khalifah yang manusia bersatu meredhainya. Dan juga kepada orang yang telah mengalahkan manusia dengan pedang hingga dia menjadi khalifah dan disebut sebagai amirul mukminin.

ومن خرج على إمام من أئمة المسلمين وقد كانوا اجتمعوا عليه وأقروا بالخلافة بأي وجه كان بالرضا أو الغلبة فقد شق هذا الخارج عصا المسلمين وخالف الآثار عن رسول الله صلى الله عليه و سلم فإن مات الخارج عليه مات ميتة جاهلية

Barangsiapa yang keluar (dari ketaatan) terhadap seorang pemimpin dari para pemimpin kaum muslimin, padahal manusia telah bersatu mengakui kekhalifahan baginya dengan cara apapun, baik dengan cara redha atau kemenangan (dalam perang), maka sungguh orang tersebut telah memecah belah persatuan kaum muslimin dan menyelisihi atsar-atsar dari rasulullah. Dan apabila dia mati dalam keadaan demikian maka matinya seperti mati jahiliyah. (Ushulus Sunnah Imam Ahmad bin Hanbal poin ke-15 dan ke-20, cetakan Dar Al-manar Saudi)
Imam at-Thahawi Rahimahullah berkata :

ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أمورنا وإن جاروا ولا ندعوا عليهم ولا ننزع يدا من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز و جل فريضة ما لم يأمروا بمعصية وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة

Kita tidak berpandangan bolehnya memberontak kepada imam dan penguasa kita walaupun mereka berbuat penyimpangan. Kita tidak boleh mendoakan kejelekan untuk mereka, tidak mencabut ketaatan dari mereka dan kita menyatakan bahawa ketaatan kepada mereka merupakan ketaatan kepada Allah dalam perkara yang wajib selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat. Kita juga mendoakan untuk mereka kebaikan dan ampunan. (Aqidah at-Thahawiyah, Maktabah Syamilah)
Imam Abu Ismail as-Shobuni Rahimahullah ketika menerangkan karakteristik Ashabul hadits beliau berkata :
ويرون الدعاء لهم بالإصلاح والتوفيق والصلاح، ولا يرون الخروج عليهم وإن رأوا منهم العدول عن العدل إلى الجور والحيف. ويرون قتال الفئة الباغية حتى ترجع إلى طاعة الإمام العدل.

Mereka juga menganjurkan untuk mendo'akan mereka (pemerintah) agar menjadi baik dan mendapat hidayah (serta menebarkan keadilan dalam masyarakat).

Mereka juga tidak membolehkan untuk memberontak kepada pemimpin-pemimpin fasiq tersebut, meskipun mereka menyaksikan penyimpangan pemerintah dari konsep keadilan dan menggantinya dengan diktatorisme dan penindasan.

Mereka juga berpendapat untuk memerangi para pemberontak sampai orang-orang itu kembali taat kepada pemerintah. (I’tiqod Ahlu Sunnah Syarah Ashabul Hadits lil Syaikh Muhammad bin Abdurahman Khumais ms. 103)
Ibnu Abil Izz al-Hanafi Rahimahullah berkata di dalam kitabnya Syarh Aqidah at-Thahawiyah:
Al-Quran dan Sunnah telah menunjukkan wajibnya mentaati para pemimpin, selama mereka tak menyuruh berbuat maksiat. Camkanlah firman Allah

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS. an-Nisaa’ 4:59)

Allah berfirman “dan taatilah Rasul..” namun tidak menyatakan “dan taatilah pemimpin-pemimpin di antara kamu..”? kerana para pemimpin itu tidak ditaati secara menyendiri. Akan tetapi ditaati juga dalam ketaatan kepada Allah. Kerana Rasul tidak akan memerintahkan untuk bermaksiat. Justeru beliau terpelihara dari perbuatan itu, adapun para pemimpin terkadang mereka memerintahkan bukan untuk taat kepada Allah. Maka mereka hanya ditaati selama memerintahkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Adapun kewajiban untuk mentaati mereka (bukan dalam maksiat) meskipun mereka berbuat zalim disyariatkan kerana keluar dari ketaatan kepada mereka akan melahirkan kerosakan yang berganda-ganda dibandingkan kezaliman mereka sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipat gandakan pahala. Kerana Allah tidak akan menguasakan mereka atas diri mereka atas diri kita melainkan kerana kerosakan amal perbuatan kita juga .

Ganjaran itu bergantung pada amal perbuatan. Maka hendaknya kita bersungguh-sungguh memohon keampunan, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan. Allah berfirman:
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. asy-Syuraa 42:30)

Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan. (QS. al-An’aam 6:129)

Apabila rakyat ingin selamat dari kezaliman pemimpin mereka, hendaknya mereka meninggalkan kezaliman itu juga. (Tahdzib Syarah Aqidah at-Thahawiyah Syaikh Abdul Akhir –edisi terjemanhan Indonesia terbitan pustaka at-Tibyan-)
Bersambung.....

Penyusun : Abu Hurairah al-atsary






Comments :

0 comments to “045 - Ahlu Sunnah tidak ‘gelojoh’ dalam ketaatan kepada pemerintah -Siri 1-”