034 - Fitrah Manusia Mengakui Allah Di Atas Langit

Fitrah Manusia Mengakui Allah Di Atas Langit

Seluruh makhluk setiap kali berdo’a secara tabi’at dan jika hatinya adalah hati yang jernih (selamat) pasti akan mengangkat tangan ketika berdo’a lalu telapak tangannya diarahkan ke arah atas. Hal ini dilakukan dalam rangka merendahkan dirinya pada Allah. Inilah fitroh manusia, selalu menengadahkan tangannya ke arah atas ketika berdo’a. Lihatlah kisah berikut yang menceritakan bahwa fitroh manusia tidaklah mungkin mengingkari Allah berada di atas.

Diceritakan oleh Ibnu Abil ‘Izz bahwa Muhammad bin Thohir Al Maqdisi menceritakan bahwa gurunya Abu Ja’far Al Hamadzaniy hadir di majelis Al Ustadz Abul Ma’aliy Al Juwainiy –yang terkenal dengan Al Haromain-.

Al Juwainiy berbicara mengenai peniadaan sifat ‘uluw (ketinggian dzat bagi Allah). Beliau mengatakan, “Allah itu ada namun bukan di ‘Arsy. Allah sekarang ada sesuai dengan tempat-Nya.”

Lantas Abu Ja’far mengatakan,
“Sampaikanlah pada kami wahai guru, kenapa muncul keraguan dalam hati kami ini?” Seorang yang arif ketika berdo’a kepada Allah dengan menyaut : “Ya Allah”, pasti hatinya meyakini bahwa Allah berada di atas sana, hatinya tidak mungkin menoleh ke kanan dan ke kiri. Bagaimana kami menghilangkan keraguan yang terbetik dalam hati kami ini?

Setelah itu Abul Ma’aliy malah memukul (menampar) kepalanya, kemudian dia turun. Kemudian dia menangis. Lantas Abul Ma’aliy mengatakan, “Wahai Al Hamadzaniy, aku sebenarnya dalam keadaan bingung! Aku sebenarnya dalam keadaan bingung!”

Al Hamadzaniy memaksudkan bahwa ini adalah fitroh yang telah ditetapkan oleh Allah pada hamba-Nya yang mereka tidak dapati hal ini pada guru-gurunya. Mereka mendapati dalam hatinya ketika berdo’a pasti hatinya akan menghadap Allah yang berada di atas seluruh makhluk-Nya. (Syarh Al Aqidah Ath Thohawiyah, 2/445-446)
“Adapun secara fithroh: Allah Ta’ala telah menetapkan pada seluruh makhluk baik yang Arab maupun non Arab, sampai pun hewan ternak, mereka semua mengimani ketinggian Allah (di atas seluruh makhluk-Nya). Tidaklah setiap hamba mengarahkan do’anya atau menujukan ibadah kepada Rabbnya melainkan kita akan melihat dengan pasti bahwa mereka akan meminta pada Dzat yang berada di ketinggian dan orang-orang ini akan mengarahkan hati mereka ke langit. Dalam keadaan ibadah seperti ini tidaklah mungkin mereka menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidaklah mungkin mereka berpaling dari konsekuensi fitroh ini kecuali orang yang telah disesatkan oleh setan dan hawa nafsu.” (Fathu Robbil Bariyyah, hal. 29)

Jadi, hanya orang yang keluar dari fitrohnya sajalah yang tidak meyakini Allah berada di atas langit, namun malah meyakini bahwa Allah berada di mana-mana.
Lihatlah sikap Abu Hanifah terhadap orang yang tidak meyakini bahwa Allah berada di atas langit.

Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-, beliau bertanya pada Abu Hanifah mengenai orang mengatakan, “Saya tidak tahu Rabbku di atas langit ataukah di bumi.”

Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman (yang artinya), ‘Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy’ dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.”

Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi.

Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit (Arsy Allah di langit), maka dia kafir.” (Diriwayatkan oleh Al Faruq dengan sanad dari Abu Bakr bin Nashir bin Yahya dari Al Hakam. Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 135-136)

Itulah keyakinan yang benar bahwa Allah berada di atas langit dan bukan di mana-mana. Sebagaiman hal ini juga dikatakan oleh Imam Malik.

Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah paham Jahmiyah. Abdullah bin Nafi’ berkata bahwa Malik bin Anas mengatakan, “Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” (Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 138. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shohih)


***
Mediu-Jogja, 23 Jumadil Ula 1430
Disediakan oleh Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal

Dicopy dari : rumaysho.wordpress.com

033 - Antara Aqidah Firaun dan Musa: Di mana Allah??

Antara Aqidah Firaun dan Musa : Di mana Allah??

Jika kita menanyakan kepada sebagian saudara kita mengenai di manakah Allah, maka muncul berbagai versi jawaban mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy. Ada pula yang mengatakan bahwa Allah ada di mana-mana. Ada pula yang mengatakan bahwa Allah ada di hati setiap insan.

Padahal senyatanya, jika kita menulusuri Al Qur’an, kita akan mendapati bahwa Allah sendiri telah menceritakan tentang keberadaannya bahwa Dia berada di atas ‘Arsy, di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya.

Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan bahwa sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan,

في القرآن ألف دليل أو أزيد تدل على أن الله عال على الخلق وأنه فوق عباده وقال غيره فيه ثلاثمائة دليل تدل على ذلك

“Di dalam Al Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya dan di atas seluruh hamba-Nya.” Selain mereka (ulama Syafi’iyah) mengatakan bahwa ada 3000 dalil yang menunjukkan hal ini. (Bayanu Talbisil Jahmiyah, 1/555)

Adapun di antara dalil Al Qur’an yang membicarakan hal ini adalah dalil tegas yang menyatakan Allah fis samaa’.

Menurut Ahlus Sunnah, maksud fis samaa’ di sini ada dua:

• Fi di sini bermakna ‘ala, artinya di atas. Sehingga makna fis sama’ adalah di atas langit
• Sama’ di sini bermakna ketinggian (al ‘uluw). Sehingga makna fis sama’ adalah di ketinggian

Dua makna di atas tidaklah bertentangan. Makna fis sama’ tidak boleh dipalingkan ke makna selain itu.

Contoh dalil tersebut adalah firman Allah Ta’ala,

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di (atas) langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersamamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al Mulk 67:16)

Juga terdapat dalam hadits,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

“Orang-orang yang penyayang akan disayang oleh Ar Rahman. Sayangilah penduduk bumi, niscaya (Rabb) yang berada di atas langit akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Daud no. 4941 dan At Tirmidzi no. 1924. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Dalil lainnya adalah dalil yang menyatakan bahwa Allah menceritakan mengenai Fir’aun yang ingin menggunakan tangga ke arah langit agar dapat melihat Tuhannya Musa. Lalu Fir’aun mengingkari keyakinan Musa mengenai keberadaan Allah di atas langit. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا

“Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta“.” (QS. Al Mu’min 23:36-37)

Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Barangsiapa yang mendustakan ketinggian Dzat Allah di atas langit yaitu dari golongan Jahmiyah, maka mereka termasuk pengikut Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan ketinggian Dzat Allah di atas langit, merekalah pengikut Musa dan pengikut Muhammad.” (Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/441)

Keyakinan ini juga merupakan keyakinan Imam Malik bin Anas, Imam Darul Hijroh. Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah paham Jahmiyah. Abdullah bin Nafi’ berkata bahwa Malik bin Anas mengatakan, “Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” (Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 138. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shohih)

Sedangkan Imam Abu Hanifah bersikap keras terhadap orang yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit.

Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-, beliau bertanya pada Abu Hanifah mengenai orang mengatakan, “Saya tidak tahu Rabbku di atas langit ataukah di bumi.”

Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman (yang artinya), ‘Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy’ dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.”

Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi.

Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit (Arsy Allah di langit), maka dia kafir.” (Diriwayatkan oleh Al Faruq dengan sanad dari Abu Bakr bin Nashir bin Yahya dari Al Hakam. Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 135-136)
Semoga Allah memberi taufik kepada kita sekalian agar memiliki aqidah yang benar. Amin Yaa Mujibas Saa’ilin.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

***
Mediu-Jogja, 28 Jumadil Ula 1430 H
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal

Dicopy dari http://rumaysho.wordpress.com/ oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

032 - Mencari Kebaikan Dan Kebahagiaan Dengan Menuntut Ilmu Agama

Mencari Kebaikan Dan Kebahagiaan Dengan Menuntut Ilmu Agama

Firman Allah Ta’ala:

"Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman." (QS. al-An’am 6:125)

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Barangsiapa yang Allah berkehendak padanya kebaikan, nescaya diberikan kepadanya kefahaman dalam agama. (Muttafaq ‘Alaihi, no. 8 dalam al-Fath)

Setiap Manusia Mencari Kebaikan

Suatu yang pasti, dalam diri setiap muslim itu akan ada sifat mencintai kebaikan dan dia mengharapkan agar dirinya beroleh kebaikan yang berkekalan, mengharapkan agar segala urusannya dipermudahkan. Contohnya seperti orang yang miskin, mengharapkan agar dirinya menjadi kaya dan inilah yang dikatakan olehnya suatu kebaikan.

Ada pula orang bodoh, mengharapkan agar dirinya menjadi pandai, dan dia menamakan ini sebagai kebaikan . Begitulah tafsiran setiap manusia mengenai kebaikan.

Tafsiran Yang Benar Mengenai Kebaikan

Namun, sebaik-baik penafsiran adalah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam iaitu kebaikan itu ialah apabila seseorang tu diberikan kefahaman agama (tafaqquh fiddin) oleh Allah ke atasnya. Dan inilah kebaikan yang hakiki, di mana dengan kefahaman dan ilmu yang dimiliki olehnya, mendorong dia untuk terus berada di dalam kebaikan.

Dengan ilmunya, dia mengenal Allah, Rasul-Nya, halal dan haram, apa yang bermanfaat dan mudharat bagi dirinya. Kemudian ditinggikan darjatnya dan dia diselubungi oleh kemuliaan serta segala hal yang dapat menghasilkan kebaikan. Bukankah ini kebaikan yang hakiki? Lihatlah pernyataan Allah dalam mensifati orang yang berilmu.

"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. "(QS. ali-Imran 3:18)

"Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."(QS. al-Mujadalah 58:11)

Kebodohan Menyeret Kepada Maksiat dan Syirik

Dengan ilmu, seseorang itu dapat menepis segala bentuk maksiat dan dia dapat menjaga keimanannya. Kerana itu Allah mengatakan bahawa orang-orang yang bermaksiat itu adalah orang-orang yang bodoh. Kerana kebodohan sahaja yang melahirkan pengingkaran terhadap Allah azza wa jalla.

"Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nahl 16:119)

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahawa pentingnya ilmu itu bagi setiap muslim, tidak kira samada dia lelaki atau perempuan, tua atau muda, kaya atau miskin, selagi dia memiliki aqal dan bernyawa, selama itu dia dipertanggungjwabkan untuk menuntut ilmu. Kerana dengan ilmu sahaja dia dapat menyelamatkan dirinya dari kejahilan dan kemaksiatan. Bahkan akibat buruk yang bakal ditimbulkan oleh kejahilan dan kebodohan ialah mensyirikkan Allah. Sedangkan ilmu dan kefahaman itu adalah suatu yang dapat melahirkan kebaikan.

”Katakanlah: "Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan (jahilun)?"( QS. az-Zumar 39:64)

Setiap Muslim Wajib Menuntut Ilmu

Untuk menyelamatkan diri kita dari terjebak dengan dosa yang paling besar ini, maka kita dituntut untuk berilmu. Kerana itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menyatakan bahawa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.

Sabda Beliau :
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” (Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 224, dari Shahabat Anas bin Malik, Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913)

Dan kaitan antara menuntut ilmu dan dilapangkan dada seorang muslim itu untuk Islam ialah, apabila Allah menyayangi seorang hamba itu, dipermudahkan dia untuk mengamalkan Islam, dimudahkan segala jalan dan cara agar dapat dia memahami dan mengerti akan kebaikan dan nikmat Islam. Semua itu tidak dapat lari daripada menuntut ilmu.

Jadi, seseorang yang dicintai oleh Allah diantara tanda-tandanya adalah orang yang sentiasa mendapat kemudahan dari Allah untuk memahami dan mengamalkan Islam. Setiap ilmu yang didapatkan mengenai agama ini, tidak kira berkaitan halal dan haram maka itulah tanda bahawa Allah berkehendak buat dirinya hidayah.

Sekarang ini, cuba lihat kepada diri kita. Adakah kita tergolong dalam kelompok yang sentiasa meningkatkan kefahaman kita dalam memahami agama islam? Adakah kita ini dikalangan orang yang memahami agama Islam? Jika tidak demikian, maka kita bukanlah termasuk dalam golongan yang Allah berkehendakkan untuk mendapatkan kebaikan dan dilapangkan dada untuk memahami Islam. Manakan tidak, kita sendiri tiada usaha untuk memahami agama Islam dan tidak pernah untuk mencari guru atau membaca suatu tulisan mengenai Islam.

Jika kita ingin untuk mendapatkan kebaikan dan disayangi oleh Allah, maka tuntutlah ilmu dan carilah ia. Kerana dengan ilmu kita mengenal Allah dan akan menghasilkan sifat takut dan tunduk padanya.

Ciri orang-orang Yang Berilmu Dan Kelebihannya

Firman Allah azza wa jalla :

”Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang yang memiliki ilmu)”(QS. Fathir 35:28)

Senantiasa melazimi belajar/bertalaqqi kerana ilmu didapati dengan belajar. Sebagaimana sabda Nabi :
”Sesungguhnya ilmu itu didapati dengan cara belajar.”(Hadis riwayat Khatib di dalam Tarikhnya, Ibn ’Asakir dan Thabrani. Syaikh Albani menilai hadits ini hasan di dalam Shahihah no. 342)

Orang-orang yang senantiasa istiqamah dalam menuntut ilmu, maka dia telah mendapatkan satu kebaikan dan kebahagian. Ia sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam :
”Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan membuka baginya satu jalan dari jalan-jalan Syurga.” (Hadits hasan, no. 68 di dalam Shahih Targhib wa Tarhib)

Maka bergembiralah wahai penuntut ilmu.

Dan banyak jalan yang dapat menyampaikan kita kepada ilmu, antaranya bergaul dengan orang yang alim, duduk di dalam majlis ilmu, membaca kitab-kitab para ulama’ dan lain-lain. Dan salah satunya apabila anda menelaah risalah ini, sedikit sebanyak anda akan mendapatkan ilmu, dan itulah antara tanda-tanda bahawa Allah berkehendakkan kebaikan pada diri anda kerana risalah ini tidak lain hanya sebagai medan memberi nasihat dan ilmu.

Dan hanya yang akan mengambil pelajaran adalah orang-orang yang beriman sebagaimana firman Allah :
“Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran.” (QS. al-A’laa 87:9-10)

"Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. " (QS. adz-Dzariyat 51:55)

Allahu a'lam

031 - Lima Bahagian Cinta

Lima Bahagian Cinta

Al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menyebutkan bahawa mahabbah (kecintaan) itu tebahagi menjadi 5 bahagian yang mana setiap insan wajib membezakan antara setiap satu darinya kerana barangsiapa yang tidak mampu untuk membezakannya maka dia dapat terjerumus di dalam syirik mahabbah.

5 bahagian mahabbah tersebut ialah :

Pertama : Mencintai Allah Ta’ala.

Kedua : Mencintai apa-apa yang dicintai oleh Allah. Kecintaan inilah yang dapat memasukkan seseorang ke dalam islam dan mengeluarkannya dari kekufuran. Maka manusia yang paling dicintai oleh Allah ialah manusia yang paling kuat dan sangat mendalam cintanya terhadap perkara ini.

Ketiga : Cinta kerana Allah. Hal ni merupakan kesimpulan daripada bentuk cinta yang sebelum ini. Seseorang dianggap tidak tulus dalam mencintai apa-apa yang dicintai oleh Allah melainkan dengan mencintai kerana Allah dan di jalan Allah.

Keempat : Mencintai beserta Allah (mencintai sesuatu setara dengan kecintaannya kepada Allah). Ini mahabbah yang syirik, barangsiapa yang mencintai sesuatu yang setara dengan Allah, bukan untuk Allah, bukan pula kerana Allah, bukan dijalan-Nya, sungguh dia telah mengambil tandingan selain dari Allah, inilah mahabbahnya orang-orang musyrik.

Kelima : Mahabbah thabi’iyah yakni kecenderungan manusia kepada sesuatu yang menjadi tabiatnya seperti seorang yang haus yang menukai air, orang yang lapar menyukai makanan, orang yang mengantuk menyukai tidur, mencintai isteri maupun anak, yang demikian ini tidaklah tercela kecuali hal-hal tersebut melalaikan dari dzikrullah dan menyibukkan diri dari mencintai Allah. (Tazkiyatun Nufus lil Imam Ibnul Qayyim, edisi terjemahan Indonesia Tazkiyah an-Nafs ms. 95-96 terbitan Pustaka at-Tibyan)

Adapun dalil-dalinya :

Pertama : Firman Allah : Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah (QS. al-Baqarah 2: 165)

Kedua dan ketiga : Tiga perkara apabila ada pada seseorang bererti dia telah merasakan kemanisan iman, (iaitu) apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya. Seseorang yang tidak mencintai melainkan kerana Allah dan benci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya sebagaimana dia benci untuk dicampakkan ke dalam api neraka. (Muttafaq ‘alaihi)

Keempat : Firman Allah “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” (QS. al-Baqarah 2 : 165)

Kelima : Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali-Imran 3: 14)

Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. at-Taubah 9 : 24)

030 - Iman Dan IKhlas

Iman Dan IKhlas

وعن أبي فراس رجل من أسلم قال نادى رجل فقال يا رسول الله ما الإيمان قال الإخلاص
وفي لفظ آخر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
سلوني عما شئتم فنادى رجل يا رسول الله ما الإسلام قال إقام الصلاة وإيتاء الزكاة
قال فما الإيمان قال الإخلاص
قال فما اليقين قال التصديق
رواه البيهقي


Dari Abu Firas –seorang lelaki dari Aslam- berkata : Seorang laki-laki berseru sambil bertanya, “Ya Rasulullah apa itu iman”?

Nabi menjawab, “Ikhlas”.

Dalam lafaz lain dia berkata, Rasulullah bersabda :

“Bertanyalah kepada ku apa yang kalian mau”. Lalu seorang lelaki berseru,

“Ya Rasulullah apa itu islam?”.
Nabi menjawap, “Mendirikan solat dan menunaikan zakat”.
Dia bertanya, “Apa itu iman?” Nabi menjawap, “Ikhlas”.
Dia bertanya, apa itu yakin?” Nabi menjawap, “Membenarkan”.

Hadis riwayat al-Baihaqi di dalam Syu’bul Iman no. 6858 dan Sahih Targhib Wa Tarhib no. 3 dan Syaikh Albani mengatakan hadis ini Sahih

029 - Dasar Terpenting Dalam Islam (Syarah Hadis Pertama Arba'in)

Dasar Terpenting Dalam Islam

سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امريء ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه

Diriwayatkan dari Umar al-Khaththab radiyallahu ‘anhu beliau berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "amal perbuatan itu bergandung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang berhijrah kerana Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu untuk kesenangan dunia yang didapatnya atau kerana wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya kepada apa yang diniatkannya." (Muttafaq ‘alaihi)

Takhrij Hadits :

Hadis diriwayatkan secara sendirian oleh Yahya bin Sa’id al-Anshori daripada Muhammad bin Ibrahim at-Taimi daripada al-Qomah bin Abi Waqash al-Laitsi daripada Umar al- Khaththab, dan tidak ada bagi hadis ini thoriq (jalan) yang sahih selain dari jalan ini seperti yang dikatakan oleh Ali bin al-Madini dan selainnya. Dan berkata al-Khaththabi : “Aku tidak mengetahui adanya khilaf diantara ahli hadits tentang perkara ini sedangkan hadis ini telah diriwayatkan dari Abi Sa’id dan selainnya”

Ada yang berkata : telah diriwayatkan hadis ini daripada thoriq yang banyak akan tetapi diantaranya tidak ada satupun yang sah di sisi para huffadz. (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam syarah Hadis Pertama)

Ada juga yang berkata bahawa hadis ini diriwayatkan lebih dari 200 orang. Dan ada pula yang berkata ia diriwayatkan oleh 700 orang perawi antara mereka al-Imam Malik, Sufyan ats-Tsaury, al-Auza’ie, Ibnul Mubarak, al-Laits bin Sa’ad, Hummad bin Zaid, Syu’bah dan Ibnu ‘Uyainah dan selain mereka. Dan telah sepakat para ulama akan kesahihan hadis ini dan kewajipan untuk menerimanya. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (1/9 Fathul Bari) dan Imam Muslim (no. 1907)

Pelajaran hadis :

Imam Syafi’e berkata : “hadis ini merupakan satu pertiga ilmu (1/3) dan ia termasuk di dalam tujuh puluh (70) bab Fiqh”

Imam Ahmad Bin Hanbal berkata : “Asas-asas islam terdiri dari tiga (3) buah hadis

Pertama : Hadis Umar - إنما الأعمال بالنيات – (sesungguhnya setiap amalan itu bergantung kepada niat) [Hadis Muttafaq ‘alaihi]

Kedua : Hadis ‘Aisyah - من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد – (Barangsiapa yang melakukan dalam agama kami sesuatu yang bukan dari ajarannya, maka ia tertolak) [Hadis Riwayat Bukhari no. 2499]

Ketiga : Hadis Nu’man bin Basyir - الحلال بين والحرام بين – (Yang halal itu jelas dan haram itu jelas) [Hadis Riwayat Bukhari no. 50]

Berkaitan hadis ini, terdapat banyak perkataan para ulama mengenainya sebagaimana yang dinukilkan oleh Imam Ibnu Rajab di dalam kitabnya. Namun untuk mempersingkat perbahasan, saya hanya menukilkan perkataan Imam Ahmad sahaja kerana keseluruhan komentar para ulama masih lagi berkaitan dengan perkataan Imam Ahmad. Allahu a’lam

Penjelasan hadis :

Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad, hadis ini termasuk di dalam dasar-dasar Islam. Imam Ibnu Rajab berkata : “Sesungguhnya keseluruhan agama ini merujuk kepada segala suruhan, meninggalkan larangan dan tidak melakukan perkara yang diragui. Kesemua ini terkandung di dalam hadis Nu’man bin Basyir.

Perkara tersebut menjadi sempurna dengan dua perkara :
Pertama - Amalan tersebut bertepatan dengan sunnah sebagaimana hadis dari ‘Aisyah - من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد – (Barangsiapa yang melakukan dalam agama kami sesuatu yang bukan dari ajarannya, maka ia tertolak.)

Kedua : amalan tersebut pada batinnya untuk mendapatkan keredhaan Allah azza wa jalla seperti yang terjandung di dalam Hadis Umar - الأعمال بالنيات – Segala amalan itu tergantung kepada niat.
Berkata Fudhail Bin Iyadh mengenai firman Allah - ليبلوكم أيكم أحسن عملا- (untuk Dia menguji diantara kamu siapa yang lebih baik amalannya),[al-Mulk 67:2] iaitu :
ikhlas dan paling tepat amalannya (mengikuti sunnah). kerana sesuatu amalan apabila ia ikhlas namun tidak tepat (tidak mengikut sunnah) tidak akan diterima, dan apabila ia tepat (mengikut sunnah) namun tidak ikhlas maka ia juga tidak diterima sehinggalah amalan itu menjadi ikhlas dan tepat. Ikhlas itu adalah amalan yang dilakukan kerana Allah azza wa jalla dan amalan yang tepat itu ialah apabila dilakukan beradasarkan sunnah sebagaimana Firman Allah - فمن كان يرجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحد- . (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam hadis pertama)
Perkataan Imam Ibnu Rajab ini merupakan kata-kata yang sangat mengesankan hati-hati kaum muslimin yang tunduk takut serta mengharap kepada Tuhan mereka. Sebagaimana yang dimaklumi, islam itu terdiri dari i’tiqod dan amal perbuatan.

Poin pertama : Jika sekiranya amalan yang dilakukan tidak memiliki keikhlasan maka ia tertolak.

Poin Kedua : Begitu juga jika amalan yang dilakukan ikhlas namun tidak menepati sunnah, maka ia juga tertolak.

Dengan dua poin di atas, cuba kita kaitkan dengan kata-kata Imam Ibnu Rajab : “Sesungguhnya keseluruhan agama ini merujuk kepada segala suruhan, meninggalkan larangan dan tidak melakukan perkara yang diragui” iaitu Kita disuruh untuk beramal ibadah kepada Allah dengan ikhlas dan menepati sunnah Nabi-Nya. Kita ditegah daripada melakukan perkara yang dilarang seperti syirik, bid’ah dan maksiat. Kita diminta untuk berhati-hati daripada perkara-perkara yang syubhah.

Jika keseluruhan perintah agama ini baik ia perintah atau larangan yang tidak didasari dengan niat yang ikhlas kerana Allah, maka tidak ada gunanya segala amal perbuatan yang telah dilaksanakan. Inilah yang membuatkan hati para mukminin bergetar kerana takut segala amalnya ditolak oleh Allah.
Semuanya terangkum di dalam firman Allah :

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS. al-Kahfi 18:110)

Kerana seorang mukmin itu, sifatnya adalah takut dan mengharap. Di mana dia ingin mencari tempat perlindungan jika sekiranya segala amalannya saat dibentangkan di akhirat kelak ditolak oleh Allah? Semuanya itu berpaksi kepada niat dan mutaba'ah (mengikuti sunnah Nabi).

Firman Allah - untuk Dia menguji diantara kamu siapa yang lebih baik amalannya- iaitu ujian tentang keikhlasan dan juga mengikuti sunnah nabi sentiasa berjalan sehinggalah seseorang itu kembali kepada Tuhannya.

Oleh itu, mempelajari dan mengenal jalan menuju niat yang ikhlas sangat amat dituntut bagi diri setiap muslim agar dia dapat terselamat dari penyakit yang dapat mencacatkan keikhlasan. Begitu juga dengan amal yang tepat iaitu mengikuti sunnah, barulah dia dapat menepati ciri-ciri orang yang beramal soleh sebagaimana firman Allah - Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya-. Dan inilah dasar terpenting yang wajib diketahui oleh setiap muslim.

Berkata Syaikh Salim Bin Ied al-hilali :
Amal-amal soleh harus disertai dengan niat-niat yang baik. Niat-niat yang baik tidak akan mengubah kemungkaran menjadi kebaikan dan bid’ah menjadi sunnah. Banyak orang yang mengharapkan kebaikan namun ramai yang tidak menggapainya.

Ikhas kerana Allah merupakan satu syarat diterimanya amal perbuatan. Sebab Allah tidak akan menerima amal perbuatan yang tidak tulus dan benar. Yang paling tulus adalah yang dilakukan kerana Allah dan yang paling benar adalah yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah yang sahih. (Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Shalihin hadis Umar al-Khaththab)

Allahu a'lam
Rujukan :
1) Jami'ul 'Ulum Wal Hikam, Ibnu Rajab (Arab, maktabah syamila)
2) Himpunan Ilmu Dan Hikmah (terbitan Pustaka Salam)
3) Syarah Riyadhus Shalihin, Syaikh Salim Bin 'Ied al-Hilali


028- Orang Mukmin Tercipta Penuh Cubaan

Orang Mukmin Tercipta Penuh Cubaan

Oleh

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halaby

Terdapat riwayat yang shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Sesunguhnya seorang mukmin tercipta dalam keadaan Mufattan (penuh cubaan), Tawwab (senang bertaubat), dan Nassaa' (suka lupa), (tetapi) apabila diingatkan ia segera ingat". [Silsilah Hadits Shahih No. 2276].

Hadist ini merupakan hadits yang menjelaskan sifat-sifat orang mukmin, sifat-sifat yang senantiasa menampal dan menyatu dengan diri mereka, tidak pernah lepas hingga seolah-olah pakaian yang selalu dipakai pada tubuh mereka dan tidak pernah terjauhkan dari mereka.

Mufattan
Artinya : "Orang yang diuji (diberi cubaan) dan banyak ditimpa fitnah. Maksudnya : (orang mukmin) adalah orang yang waktu demi waktu selalu diuji oleh Allah dengan balaa' (bencana) dan dosa-dosa". [Faid-Qadir 5/491].

Dalam hal ini fitnah (cobaan) itu akan meningkatkan keimanannya, memperkuat keyakinannya dan akan mendorong semangatnya untuk terus menerus berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebab dengan kelemahan dirinya, ia menjadi tahu betapa Maha Kuat dan Maha Perkasanya Allah, Rabb-nya.

Menurut sebuah riwayat dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Perumpamaan orang mukmin ibarat sebatang pokok yang lentur diombang-ambing angin, kadang hembusan angin menumbangkannya, dan kadang-kadang meluruskannya kembali. Demikianlah keadaannya sampai ajalnya datang. Sedangkan perumpamaan seorang munafik, ibarat sebatang pokok yang kaku, tidak berubah (tetap pendiriaannya) oleh terpaan apapun hingga (ketika) tumbang, (tumbangnya) sekaligus". [Bukhari : Kitab Al-Mardha, Bab I, Hadist No. 5643, Muslim No. 7023, 7024, 7025, 7026, 7027].

Ya, demikianlah sifat seorang mukmin dengan keimanannya yang benar, dengan tauhidnya yang bersih dan dengan sikap iltizam (komitmen)nya yang sungguh-sungguh.

Tawaab Nasiyy
Artinya : "Orang yang bertaubat kemudian lupa, kemudian ingat, kemudian bertaubat". [Faid-Al Qadir 5/491].

Seorang mukmin dengan taubatnya, berarti telah mewujudkan makna salah satu sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu sifat yang terkandung dalam nama-Nya : Al-Ghaffar (Dzat yang Maha Pengampun). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar". [QS. Thaha 20: 82].

Apabila Diingatkan, Ia Segera Ingat.
Artinya : "Bila diingatkan tentang ketaatan, ia segera bergegas melompat kepadanya, bila diingatkan tentang kemaksiatan, ia segera bertaubat daripadanya, bila diingatkan tentang kebenaran, ia segera melaksanakannya, dan bila diingatkan tentang kesalahan ia segera menjauhi dan meninggalkannya".

Ia tidak sombong, tidak besar kepala, tidak bangga diri dan tidak tinggi hati, tetapi ia rendah hati kepada saudara-saudaranya, lemah lembut kepada sahabat-sahabatnya dan ramah tamah kepada teman-temannya, sebab ia tahu inilah jalan Ahlul Haq (pengikut kebenaran) dan jalannya kaum mukminin yang solihin.

Terhadap dirinya sendiri ia berbatin jujur serta berpenampilan luhur, sedangkan terhadap orang lain ia berperasaan lembut dan berahlak mulia, bersuri tauladan kepada insan teladan paling sempurna yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang telah diberi wasiat oleh Rabb-nya dengan firman-Nya :

"Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka .....". [QS. Ali Imran 3: 159]

Inilah sifat seorang mukmin. Ini pula jalan hidup serta manhaj perilakunya.

[Majalah Al-Ashalah edisi 15, Th III 15 Dzul Qa'dah 1415H]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah edisi 07/th III/1419-1998, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah, Jl Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]

Dicopy dari http://www.almanhaj.or.id/ dengan sedikit olahan bahasa

027- Dialog Bersama Seorang Atheis

Dialog bersama atheis

Saya pernah bertemu dengan seorang kawan yang berfahaman atheis. Dia bertanyakan banyak hal yang saat itu saya sukar untuk menjawab kerana kesuntukan waktu (saat pertama di rumahnya di tengah malam dan yang kedua ketika sedang menunggu bas). Di sini saya rasa perlu untuk menjawap beberapa syubhat (hal-hal yang samar) yang saya rasa dapat menggugat keimanan seorang muslim yang kurang perhatiannya terhadap al-Quran dan sunnah.

Poin yang pertama : Tuhan tidak wujud

Pernyataan :
Sebahagian atheis beranggapan bahawa alam ini tercipta dengan sendiri tanpa ada pengaturnya. Mereka mengatakan alam ini berada dalam keadaan semula jadi.

Jawapan :
Jika memang demikian keadaannya, kita berhujah. Cuba perhatikan kerusi meja dan segala macam peralatan yang ada, apakah ia tercipta dengan sendiri atau ada yang mencipta? Pasti mereka akan mengatakan ada yang mencipta. Lalu kita katakan, “Begitu juga dengan alam ini, ia tercipta dengan peraturan yang sangat hebat. Lihat langit yang biru, adakalanya hujan dan adakalanya tidak. Siapa yang mengaturnya? Jika dalam dunia elektronik, seseorang itu akan sedar bahawa segala alat yang ada pasti ada yang memprogramkannya, begitu juga alam ini pengaturnya adalah Allah”.

“Lihat matahari, tidak selamanya ia cerah, ada masa ia mendung dan ada masa ia cerah. Dan ia terbit dari timur ke barat, dan belum ada lagi sejarah yang mengatakan matahari tidak timbul melainkan ianya dalam keadaan mendung, siapa pengaturnya? Pasti Allah Ta’ala, inilah yang kami imani.”

Saya membawakan satu riwayat dari Imam Abu Hanifah, saat beliau didatangi oleh beberapa orang dari kaum atheis lalu mereka berkata kepadanya : “
Tetapkan kepada kami tentang adanya Allah?
Imam Abu Hanifah menjawap : Sesungguhnya aku berfikir sebuah kapal yang berlabuh menuju tepian pelabuhan Dijlah, sementara di atas kapal tersebut terdapat banyak sekali barang-barang yang dibawa. Maka diturunkanlah barang-barang tersebut tanpa ada yang membawanya turun (ke pelabuhan) dan kemudian kapal tadi berpaling meninggalkan pelabuhan tanpa ada nakhodanya (yang membawa).”
Maka orang-orang tadi berkata : “Bagaimana kamu boleh berkata seperti itu? Sesungguhnya hal itu tidalah dapat diterima aqal dan kami tidak akan membenarkannya”
Kemudian beliau menjawab : Apabila kalian tidak membenarkan hal semacam ini, lalu bagaimana kalian dapat membenarkan matahari, bulan, bintang-bintang, langit dan bumi semuanya, bagaimana mungkin kalian membenarkan itu semua ada dengan sendirinya tanpa ada yang mengadakannya?? (Dinukil dari buku Tarbiyah Imaniyah Jibril, syarah kepada hadis Jibril oleh Syaikh Utsaimin)
Allah Ta’ala sendiri di dalam al-Quran telah membantah syubhat para atheis ini melalui firman-Nya : Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? (QS. at-Thur 52:35)

Ayat ini menunjukkan kaedah bahawa, kita menyoal kembali kepada para atheis, apakah mereka yang menciptakan segala sesuatu atau segala sesuatu itu diciptakan. Hal ini tidak dapat mereka ingkari, kerana telah ada dalam diri mereka itu fitrah, iaitu mengakui bahawasanya Allah lah yang menciptakan segala sesuatu sebagaimana firman-Nya : Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah (QS. az-Zumar 39:38)

Jika seorang muslim tidak menguasai dalil-dalil tentang penghujatan ke atas para atheis, pasti dia akan dikalahkan oleh hujah aqal mereka, paling tidak pun dia akan buntu dengan jawapan yang sepatutnya.

Ketika berdialog, dia (kawan saya) menerima hakikat bahawa alam ini ada pencipta namun dia tidak mengetahui bahawa itu adalah AllahTa’ala sebaliknya dia menyatakan bahawa yang menciptakan alam ini adalah suatu kuasa. Di sini saya dapat melihat sisi kelemahannya, seorang atheis yang bercampur dengan fahaman Buddha. Kerana dia mendakwa bahawa selepas kita mati maka kita akan menjelma sebagai jiwa yang lain pada kehidupan yang akan datang.

Di sini saya hanya mampu menanamkan padanya bahawa hakikat alam ini memiliki pencipta.

Poin kedua : Tuhan tidak wujud, kerana jika Tuhan wujud maka tidak akan ada ketidak adilan.

Jawapan :
Masuk pada fase yang kedua, saya cuba untuk memberikan keyakinan padanya bahawa al-Quran adalah datang dari Allah, Dia telah mengkhabarkan segala sesuatu agar kita ini hanya menyembah pada Allah. Dan inilah hakikat kebenaran, jika seandainya hakikat ini diterima oleh semua orang, pasti tidak akan wujud dalam hatinya pembangkangan terhadap Allah sehingga keluar kata-kata seperti di atas, bahawasany Allah tidak adil.

Apa yang dapat saya lihat di sini ialah, rusaknya pemahaman adil pada fikiran kawan saya. Di mana dia memposisikan neraca ‘adil’ dengan aqalnya. Jadi segala perkara yang nampak tidak adil pada aqalnya, maka ia dihukumi dengan tidak adil. Kesilapan saya saat itu adalah terperangkap dalam neraca ke’adilan’ versi aqalnya sehinggakan saya gagal memberikan jawapan yang munasabah untuk dicerna aqalnya.

Dia menyoal : andaikan ada 2 orang yang saling bergaduh. Dan keduanya membawakan kes ini ke mahkamah lalu dibicarakan. Dua orang tadi pasti saling meminta tolong kepada Tuhan, dan Tuhan mendengar permohoan dua pihak tadi. Namun hukum alam menetapkan, apabila satu-satu kes dibincangkan, pasti akan ada satu pihak sahaja yang kalah dan satu yang menang. Tidak akan terjadi dua-dua kalah dan dua-dua menang.
Jadi orang yang kalah telah dizalimi oleh Tuhan, kerana Tuhan tidak memberikan kepadanya kemenangan tetapi memberikan kemenangan kepada pihak yang satu lagi. Nah di sini syubhat yang ditimbulkan. Kita sebagai seorang Islam mengimani bahawa Tuhan iaitu Allah Azza Wa Jalla bersifat dengan sifat yang adil, dan tidak mungkin Dia menzalimi hamba-Nya.

Lihat firman-Nya : Dan Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang selalu menganiaya diri mereka sendiri, (QS. an-Nahl 16:33)

Cuba perhatikan logika yang dibuat oleh kawan saya tadi, dia mengatakan jika ada 2 orang yang bergaduh…di sini kita dapat mengesan bahawa orang yang menimbulkan pergaduhanlah yang telah menzalimi diri mereka sendiri. Jika dia berdoa kepada Tuhan lalu Tuhan menolak, maka pasti dia akan mencela dan mengatakan Tuhan tidak adil. Jika dia mendapat kemenangan walaupun dia telah berlaku zalim, maka inilah yang dikatakan sebagai istidraj. Iaitu agar orang ini jauh lebih tersesat dari kebenaran. Perkara ini yang tidak dapat dicerna oleh kawan saya tadi, sehinggakan dia merasakan Tuhan tidak adil.

Orang yang melakukan kesilapan akan dihukum di akhirat kelak, inilah yang diimani oleh kami, namun kawan saya pula menyatakan orang ayng banyak melakukan kesalahan akan dihidupkan dalam keadaan yang hina pada kehidupan yang akan dating. Saya bertanya kembali, apa bukti kamu. Dia tidak memberikan jawapan. Inilah bentuk kebodohan mereka yang jelas iaitu mengikuti sesuatu yang tidak ada dasar dan hujah. [selesai pembicaraan kami tanpa ada kesimpulan yang nyata antara saya dan dia]

Jawapan yang berbentuk logika ini merupakan terjemahan dari firman Alllah surah an-Nahl 33 bahawa Allah bersifat dengan sifat yang adil, tidak menzalimi hamba-Nya. Kemudian kesenangan yang dimiliki oleh orang yang ingkar itu semua adalah azad bagi mereka merupakan terjemahan dari ayat 48 surah Hud : Dan ada (pula) umat-umat yang Kami beri kesenangan pada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami."

Inilah yang kami imani. Mengapa? Kerana kami menyedari dan mengatahui bahawa Allah adalah Dzat yang menciptakan alam ini dan Dia pula yang mengaturnya. Dan Dia telah mengutuskan seorang Rasul kepada mereka mengkhabarkan Laa Ilaaha Illaa Allah (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah). Inilah dasar aqidah seorang muslim, apabila dia mengetahui bahawa Allah tidak ada tandingan-Nya. Tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada yang dapat menandingi-Nya dan haq penyembahan adalah untuk-Nya mengikut sayriat-Nya. Semuanya itu diajarkan oleh Rasulullah di dalam hadisnya terjemahan kepada al-Quran.

Dan mengapa al-Quran itu benar? Kerana ia bukan buatan manusia, tidak pula buatan Muhammad. Tidak mengajarkan adab-adab orang arab, sebaliknya ia adalah kalamullah yang turun dari Allah. Tidak ada kesalahan di dalamnya. Bukti? Cubalah cari kesalahan yang terdapat di dalamnya jika ada.

Adakah Muhammad mengajak orang-orang untuk menyembahnya atau menyembah Allah yang haq? Apakah Muhammad meminta harta hasil dari dakwahnya atau dia menolak lalu mengatakan “hidup di dunia ini ibarat musafir” lalu beliau tidak mengambil barang sedikitpun kecuali sekadar keperluannya.

Inilah yang harus dimaklumi oleh sekalian muslim, iaitu Syahadah Laa Ilaaha Illaa Allah Muhammadur Rasulullah agar imannya tertancap kuat di dalam hatinya, lalu melahirkan tunas pokok dan kemudian membesar hingga memiliki beratus cabang dan mengeluarkan buahnya (hasilnya). Akarnya kalimat syahadah, pohonnya keimanan kepada Allah, cabangnya adalah akhlaq yang terwujud dari ucapan syahadah tadi dan buahnya di nikmati di akhirat kelak iaitu syurga.

Allahu a'lam