Secara umumnya berita dan khabar yang sampai kepada seseorang boleh jadi ada yang benar ada yang tidak yakni tercampur hal yang dusta/palsu. Maka seseorang itu perlu memeriksa apakah benar berita yang sampai kepadanya. Jika berkaitan dengan hubungan sesama manusia Rasulullah telah mencegah kita dari menyampaikan berita yang kita dengar tanpa diperiksa, apatah lagi hukumannya jika orang yang menyampaikan perkataan yang dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, pastinya lebih keras lagi usaha kita untuk memeriksa apakah benar perkataan itu tadi berasal dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Oleh kerana itu di dalam Islam kita perlu mengambil apa-apa syariat mesti berdasarkan kepada ilmu. Jika hanya sekadar berdasarkan kepada kata-kata, maka boleh sahaja perkataan itu benar atau salah. Tentang hal ini, Allah mengatakan : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan (ilmu) tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. al-Isra’ 17:36)
Untuk seseorang muslim itu mengenal syariat Islam adalah melalui jalan menuntut ilmu, dengan ilmu baru terlaksananya ketaatan. Jika kita melakukan ketaatan tanpa ilmu, di akhirat kelak kita akan ditanya dari mana kita mengambil ilmu dan dari mana dasar amalan kita.
Peringatan kedua : Kesalahan dalam menyampaikan Hadits
Di dalam pepatah arab ada mengatakan “orang yang tidak memiliki, maka dia tidak dapat memberi”. Bermakna, orang yang tidak memahami ilmu hadits, maka dia akan sering keliru dalam menyampaikan hadits ataupun dia tidak dapat menyampaikan hadits sebagaimana tuntutannya.
Antara kesalahan yang sering kita temukan kepada orang-orang yang membawa hadits (semoga Allah memberikan kepada mereka kelebihan dalam menekuni ilmu hadits dan memperbaiki kesalahan mereka), adalah kesalahan dalam menambah-nambah (ziyadah) dalam lafaz hadits yang asal dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ataupun mereka menyampaikan terjemahan hadits namun ditokok tambahkan lagi lafaz-lafaz dalam riwayat sehingga merubah makna hadits tersebut. Ini terjadi kerana mereka tidak memiliki keahlian dalam menyampaikan hadits dengan arti kata yang lain, mereka jahil dalam ilmu ini sehingga menimbulkan kesalahan. Jika mereka hendak menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sepatutnya mereka melihat sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Apabila aku menyampaikan hadits kepada kamu, maka janganlah sekali-kali kamu memberikan tambahan (ziyaadah) atas (nama)ku.” (Hadits sahih riwayat Ahmad 5/11)
Kemudian kesalahan lainnya, tidak menyebut nama perawi-perawi hadits sehinggakan sukar bagi umat manusia untuk merujuk apakah benar perkataannya itu. Seperti riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibn Majah, at-Thahawi, at-Thayalisi dan lainnya.
Peringatan ketiga : Tidak mengetahui riwayat hadits yang disampaikan, apakah ia sahih atau tidak
Sebagaimana yang telah diterangkan pada awal perbahasan, seseorang itu tidak boleh memiliki sikap ragu dalam menyampaikan hadits kerana apabila dia ragu (zhan), namun dia tetap menyampaikan hadits tersebut tanpa keyakinan maka dia telah terancam dengan ancaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “meriwayatkan dariku) satu hadits yang dia sangka sesungguhnya hadits itu palsu/dusta, maka dia termasuk salah seorang dari pendusta ”. Hal ini menuntut seseorang itu perlu memiliki ilmu tentang kesahihan hadits tersebut, paling kurang dia telah meneliti kitab-kitab para ulama muhaqqiq (ulama peneliti hadits) seperti Imam-imam ahlu hadits.
Di sini saya bawakan satu contoh hadits yang telah diteliti kesahihahnnya iaitu hadits Fadhilat Surat Yasin.
Imam Tirmidzi meriwayatkan satu hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “ Sesungguhnya bagi setiap sesuatu itu memiliki hati, dan hati al-Quran itu ialah surah Yasin. Oleh kerana itu barangsiapa yang membaca surah Yasin, maka Allah akan memberikan pahala bagi bacaannya itu sama seperti pahala membaca sepuluh kali membaca al-Quran.” (Riwayat Imam Tirmidzi 4/64, Ad-Darimi 1/312)
Derajat hadits ini Dhaifun Jiddan (sangat lemah) bahkan ada ulama yang mengatakan maudhu’. Antara sanad hadits ini terdapat Harun Abi Muhammad. Imam Tirmidzi mengatakan bahawa perawi ini Syaikh Majhul (tidak dikenal sifat dan keadaan dirinya oleh ahli hadits). Berkata al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, “dengan ini kita mendapati bahawa Imam Tirmidzi telah melemahkan hadits ini”.
Kemudian Ibnu Hajar juga berkata sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Tirmidzi. Al-Imam Abu Hatim menyangkal bahawa di dalam sanad hadits ini terdapat seorang perawi yang bernama Muqatil. Bahawa perawi ini adalah Muqatil bin Sulaiman adalah seorang pendusta dan bukannya Muqatil bin Hayyan.
Telah sepakat para ulama ahlu hadits bahawa perawi yang majhul, hadits mereka termasuk ke dalam kategori hadits dhaif yang riwayatnya tidak diterima. Namun telah ada jarh (celaan) dari Imam Abu Hatim ke atas perawi di dalam hadits ini yang dituduh perndusta sehinggakan martabat hadits ini jatuh kepada hadits palsu dengan kesepakatan ulama. (Silakan merujuk kitab Silsilah Ahaadits Dhaifah no. 169)
Lihat, bagaimana para ulama mengumpulkan hadits kemudian mereka berusaha untuk mengenal para perawinya dan setelah itu baru mereka memasukkan hadits tersebut ke dalam kitab Sunan/Shahih mereka. Namun manusia itu memiliki kesilapan dan kesilapan yang dilakukan oleh ulama yang telah berijtihad (seperti ijtihadnya ulama ahlu hadits mengenai sahih atau tidak sesuatu hadits), maka mereka mendapatkan 1 pahala. Dan ini tidaklah bermakna umat perlu mengikut ijtihad mereka yang salah, kerana kita hanya diperintah untuk mengikut al-Quran dan Sunnah dan juga ahli zikir iaitu orang-orang yang ahli dalam keilmuan.
Para Imam kaum muslimin telah mewasiatkan bahawa hendaklah orang-orang yang mengikut ijtihad mereka mengetahui dari mana mereka mengeluarkan dalil dan kemudian mereka berpesan supaya umat tidak mengikut ijtihad/pendapat mereka yang salah. Sebagaimana pesanan Imam Syafi’e : “Apabila kamu mendapati di dalam bukuku sesuatu yang bertentangan dengan hadits Rasulullah maka berpeganglah kepada hadits tersebut dan tinggalkanlah apa yang telah aku katakan itu.” (Riwayat Khatib al-Baghdadi dan Imam an-Nawawi di dalam Syarh al-Muhazzab 1/63)
Ini bukanlah ertinya kita merendahkan-rendahkan para imam mujtahid (yang telah berijtihad) kerana kesalahan mereka dan tidak pula kita memaksum (mengatakan mereka bebas dari kesalahan)-kannya, sedangkan setiap manusia tidak terlepas dari kesalahan.
Sedangkan apabila kita mengikut wasiat mereka, hal ini lebih mereka redhai berbanding kita mengikut ijtihad mereka yang salah, dan tidak ada para ulama yang mewajibkan umat mengikut mereka kecuali mereka menasihati umat supaya berpegang teguh dengan al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi mereka melarang orang ramai untuk mengikut mereka hanya berdasarkan taqlid tanpa mengetahui dari mana mereka mengambil dalil. Imam Syafie berkata : “Kaum muslimin telah sepakat bahawasanya barang siapa yang telah jelas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baginya, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut dikeranakan perbuatan siapapun.” (I’lamul Muwaqqi’en 2/282)
Kerana itu, orang yang membawakan hadits wajib memikul amanah sebagaimana yang telah dikemukan seperti di atas. Bukan bermakna mereka perlu menghafal ribuan hadits kemudian baru menyampaikan pada umat, tidak demikian. Apa yang dimaksudkan di sini ialah, jika mereka cinta kepada agama ini dan ingin menyebarkan islam, mereka perlu menyampaikannya sebagaimana yang dituntut.
Cuba perhatikan bagaimana para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bermuamalah dengan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berkata Abdurrahman bin Abi Laila : Kami pernah berkata kepada Zaid bin Arqam, “Ceritakanlah kepada kami (hadits-hadits) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam !”. beliau menjawap, “Kami telah tua dan lupa, sedangkan menceritakan hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sangatlah berat.” (Atsar ini sahih riwayat Ibnu Majah no. 25).
Kemudian perhatikan lagi perkataan ulama iaitu Imam Ahmad bin Hanbal : “Apabila kami meriwaytakan hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang halal dan haram dan Sunnah-Sunnah dan hukum-hukum, nescaya kami keraskan yakni kami periksa dengan ketat sanad-sanadnya”. (Sahih riwayat Imam Khatib al-Baghdadi di dalam kitab al-Kifaayah fi Ilmimr Riwaayah ms.134)
Comments :
Catat Ulasan