047 - Ahlu Sunnah tidak ‘gelojoh’ dalam ketaatan kepada pemerintah Siri 2

Menyangkal Vonis Murji’ah terhadap Ahlu Sunnah

Respon kepada artikel seorang Ustaz yang memvonis kepada orang-orang yang ‘gelojoh’ mentaati pemerintah adalah Murji’ah, makanya di sini saya bawakan artikel dari Ustadzuna Yazid Abdul Qadir Jawas ketika membahas isu Murji’ah yang pernah digembar-gemburkan oleh sekelompok orang yang membawa fitnah kepada dakwah salaf suatu ketika dahulu.

Namun akhir-akhir ini kita dapat melihat adanya orang yang cuba membangkitkan semula isu ini dan alhamdulillah dengan izin dari Allah semoga artikel dari Ustadzuna ini dapat menyingkap syubhat yang tersebar saat ini.

Tajuk : CIRI-CIRI MURJI`AH YANG PALING MENONJOL
Oleh Ust Yazid Abdul Qadir Jawas

Murji`ah memiliki sekian banyak ciri, dan ada beberapa ciri yang paling menonjol, di antaranya sebagai berikut.

[1]. Mereka berpendapat, iman hanya sebatas penetapan dengan lisan, atau sebatas pembenaran dengan hati, atau hanya penetapan dan pembenaran.

[2]. Mereka berpendapat, iman tidak bertambah dan tidak berkurang, tidak terbagi-bagi, orang yang beriman tidak bertingkat-tingkat, dan iman semua orang adalah sama.

[3]. Mereka mengharamkan istitsn` (mengucapkan ‘saya beriman insya Allah’) di dalam iman.

[4]. Mereka berpendapat, orang yang meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan haram (dosa dan maksiat) tidak berkurang imannya dan tidak merubahnya.

[5]. Mereka membatasi kekufuran hanya pada pendustaan dengan hati.

[6]. Mereka mensifati amal-amal kekufuran yang tidak membawa melainkan kepada kekufuran, seperti menghina dan mencela (Allah, Rasul-Nya, maupun syari’at Islam); bahwa hal itu bukanlah suatu kekufuran, tetapi hal itu menunjukkan pendustaan yang ada dalam hati.[ Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, karya Imam al-Lalikâ-i.]

CIRI-CIRI MURJI’AH MENURUT AHLI BID’AH TERDAHULU

Dahulu para ahli bid’ah –dari kalangan Khawarij dan selainnya- menuduh Ahlus-Sunnah wal- Jama’ah dengan irja`, dikarenakan perkataan mereka (Ahlus-Sunnah) bahwa pelaku dosa besar tidak dikafirkan, kecuali jika dia menghalalkan perbuatan tersebut. Dan mereka berpendapat, orang yang meninggalkan shalat karena malas atau meremehkannya tidaklah kafir yang dapat mengeluarkannya dari agama.[ Syarah Aqîdah ath-Thahâwiyyah, karya Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi tahqiq para ulama dan takhrij Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.]

Di antara dali-dalil yang menunjukkan hal itu ialah sebagai berikut.

Pertama. Atsar yang dikeluarkan Ishaq bin Rahawaih dari Syaibân bin Farrûkh, ia berkata:
"Aku bertanya kepada ‘Abdullah Ibnul-Mubârak: 'Apa pendapatmu tentang orang yang berzina dan meminum khamr atau selain itu. Apakah ia dikatakan mukmin?’. ‘Abdullah Ibnul Mubârak menjawab,‘Aku tidak mengeluarkannya dari iman,’ maka Syaibân berkata,‘Apakah pada saat tua nanti engkau menjadi Murji`ah?,’ lalu ‘Abdullah Ibnul-Mubârak menjawab,‘Wahai, Aba ‘Abdillah! Sesungguhnya Murji`ah tidak menerimaku, karena aku mengatakan iman itu bertambah, sedangkan Murji`ah tidak mengatakan demikian'.”[ At-Takfîr wa Dhawâbithuhu, karya Syaikh Dr. Ibrâhim ar-Ruhaili.]
Kedua. Apa yang disebutkan oleh al-Qâdhi Abul-Fadhl as-Saksaki al-Hanbali (wafat 683 H) dalam kitabnya, al-Burhân:
Bahwa ada sekelompok ahlul bid’ah yang dinamakan dengan al-Mansuriyyah -mereka adalah sahabat dari ‘Abdullah bin Zaid-, mereka menuduh Ahlus-Sunnah sebagai Murji`ah, karena Ahlus-Sunnah mengatakan, orang yang meninggalkan shalat, apabila ia tidak mengingkari kewajibannya maka ia tetap seorang muslim; demikian menurut pendapat yang shahîh dari madzhab Imam Ahmad.
Mereka (ahlu bid’ah) mengatakan: “Ini menunjukkan bahwa iman menurut mereka (Ahlus Sunnah) adalah perkataan tanpa amal.”[ Dirâsât fil Ahwâ’, karya Syaikh Dr. Nâshir bin Abdul Karîm al-‘Aql.]
CIRI-CIRI SESEORANG TERLEPAS DARI MURJI’AH, MENURUT AHLUS-SUNNAH

Para ulama Ahlus-Sunnah telah menyebutkan sejumlah ciri yang dapat diketahui bahwa seseorang terlepas dari bid’ah Irja`, di antaranya ialah:

[1]. Mengatakan bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan.
Imam Ibnul-Mubarak rahimahullah pernah ditanya: “Engkau berpendapat Irja`?," maka ia menjawab,“Aku mengatakan bahwa iman itu perkataan dan perbuatan. Bagaimana mungkin aku menjadi Murji`ah?!”[ Wasathiyyah Ahlis Sunnah, karya Syaikh Muhammad Bakarim bin Muhammad Ba’abdullah.]

[2]. Mengatakan bahwa iman itu bertambah dan berkurang.
Imam Ahmad ditanya tentang orang yang mengatakan: “Iman itu bertambah dan berkurang,” maka ia menjawab,“Orang ini telah berlepas diri dari Irja`.”

[3]. Mengatakan bahwa maksiat mengurangi iman dan membahayakannya.

[4]. Mengatakan bahwa kekufuran dapat terjadi dengan perbuatan sebagaimana dapat terjadi dengan keyakinan dan perkataan. Dan ada di antara amal yang menjadi kufur karena melakukan amal tersebut tanpa keyakinan, dan menganggap halal perbuatan tersebut.[ Firaq Mu’âhirah, karya Ghâlib bin Ali ‘Awâji.]

CIRI-CIRI SESEORANG TERLEPAS DARI MURJI`AH MENURUT HIZBIYYUN DAN HARAKIYYUN

Di antara ciri seseorang terlepas dari Murji`ah menurut kaum Hizbiyyun dan Harakiyyun ialah:

[1].Mengkafirkan orang yang berhukum dengan selain hukum Allah dengan mutlak tanpa perincian yang telah disepakati oleh para salaf, Ahlus-Sunnah sejak dahulu sampai hari ini.

[2]. Mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan. Dalam masalah ini terjadi khilâf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama Ahlus-Sunnah sejak dahulu hingga hari ini. Menurut mereka, apabila seorang muslim berpendapat dengan dua pendapat tersebut, maka ia telah terlepas dari Murji`ah.[ Mujmal Masâ-ilil Îmân wal Kufr al-‘Ilmiyyah fi Ushûl al-‘Aqîdah as-Salafiyah, Syaikh Musa Âlu Nashr, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halaby al-Atsary, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, Masyhur Hasan Alu Salman, Husain bin ‘Audah al-‘Awaisyah, Baasim bin Faishal al-Jawabirah, cet. II-Markaz Imam al-Albany.] –selesai nukilan-

Di sini saya (Abu Hurairah) sertakan lagi poin-poin bahawa seseorang itu terlepas dari sifat irja’ (Murji’ah).
1) Menyatakan boleh mengucapkan "insya Allah" dalam keimanan.
Imam Abdur-Rahman bin Mahdi rahimahullah berkata: ''Jika seseorang meninggalkan pernyataan 'insya Allah' (istitsnâ) dalam keimanan, maka itu adalah prinsip irja`' (Diriwayatkan oleh al-Aajuri dalam asy-Syari’ah (2/644) Dinukil dari al-Imam Al-Albani wa Mauqifuhu minal Irja, karya Abdul Aziz bin Rayyis ar-Rayyis, hlm. 23)

2) Menyatakan bahwa kekufuran bisa terjadi pada amalan-amalan anggota badan.
Hal ini karena semua firqah Murji`ah menyatakan bahwa tidak terjadi kekafiran dengan sebab amalan-amalan anggota badan. (Dinukil dari artikel Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari )
Valid atau tidak vonis Murji’ah kepada Ahlu Sunnah?

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam : “Barangsiapa berkata tentang seorang mukmin sesuatu yang tidak ada padanya, Allah akan menempatkannya pada lumpur neraka, sehingga dia keluar dari apa yang telah dia katakan” [Shahih HR Abu Dawud, no. 3597, Ahmad (2/270 dan al-Baihaqi (6/82)]

Dari hadis di atas, maka saya menasihati diri saya dan teman-teman yang lain agar bertaqwa kepada Allah dan menjaga lisan kita dari menvonis seseorang itu khawarij, mubtadi’, Murji’i atau lainnya. Jangan kita mendahului para ulama dalam masalah ini. Kita serahkan kepada hal ini kepada ahlinya kerana hal ini dapat menjamin keselamatan dan kurangnya fitnah.

Jelasnya, vonis Murji’ah terhadap ahlu sunnah merupakan satu bentuk tuduhan yang melampau kerana tuduhan ini merupakan satu bentuk perlecehan terhadap para ulama ahlu sunnah wal jamaah dari kurun terdahulu hingga kini yang menyatakan bahawa ketaatan kepada pemerintah adalah antara persoalan aqidah. Inilah antara awal syiar kelompok khawarij yang gemar meremehkan ulama dalam upaya menyebarkan syubhat terhadap ahlu sunnah. Semoga Allah senantiasa menunjukkan kepada kita semua kepada jalan yang benar dan menjauhi syubhat-syubhat yang tersebar. Allahul Musta’an

046 - Sejenak Bersama Ust Bukhari

Sejenak Bersama Ust Bukhari

Usai solat isya' kelmarin, alhamdulillah kami berkesempatan bersembang dengan Ust Bukhari. Lulusan pesantren dari daerah Bogor, anak murid kepada Ust Yazid Abdul Qadir Jawas, Ust Abdul Hakim, Ust Muhammad Umar as-Sewed, Ust Luqman Ba'abduh -ini saja setakat yang aku ketahui guru-gurunya -, beliau di antara golongan terawal yang menerima dakwah salafiyah di Indonesia. Selevel juga dengan al-Akh Abu Salma -sapatutnya beliau dipanggil ust juga, namun beliau menolak kerna katanya masih belum layak, padahal bagiku kapasitas ilmunya menandingi Ustadz-ustadz yang gemar kepada bid'ah, begitu juga dengan akh Abul Jauzaa, mereka berdua menolak untuk dipanggil Ust-.

Baru aku ketahui gimana caranya akhlaq salaf. Kalo sekedar hanya diskusi di dalam forum, omong kosong dan lolucon sana sini, sampai kapan pun ngak kenal akhlaq salaf. Di mana kaum salaf di muka bumi ini yang akan kita temukan, mereka bercerita mengenai "film apa yang sudah antum tonton?", melainkan kita akan melihat dari satu forum nun di sana..Allahu akbar, aneh sekali.

Kembali membicarakan tentang Ust Bukhari. Ust yang lembut dan sentiasa melemparkan senyuman, menasihati supaya menuntut ilmu dan melazimi sunnah. Tidak terlontar dari mulutnya perkara-perkara dunia apalagi supaya mengejar dunia. Jauh, amat jauh dengan akhlaq orang-orang yang mengaku salafy di Malaysia ini. Sehinggakan terlihat di wajahnya, orang yang kasih kepada umat, bersemangat jihad dan relung jiwa yang penuh dengan ketaqwaan dan ilmu.

Beliau juga pernah menganggotai laskar jihad ketika berlakunya peristiwa di Ambon. Kerna itu aku melihat di wajahnya , wajah orang yang mengejar syahid. Inilah hasil tarbiyah dari para asatidzah di Indonesia.

Nasihat beliau kelmarin, memberikan motivasi kepada kami untuk terus belajar dan menjauhi syubhat. Jika ingin dibandingkan keadaan di Indonesia dan Malaysia sangat amat jauh sekali. Di Indonesia, jika ada saja orang yang mengaku salafy yang coba melemparkan syubhat, sedangkan dia adalah orang meletakkan loyalitasnya pada jemaah nya -hizbiyun-, pasti terus dibantah ngak ada kata dua. Berbeda dengan di Malaysia, antek-antek hizbi bertebaran mengaku sebagai salaf. Ketawa Ust Bukhari mendengar khabar aneh yang aku sampaikan.

Selanjutnya...Ust bercerita mengenai Ust luqman Ba'abduh. Subhanallah!! kalimat ini yang sering terpacul dari mulut Ust Bukhari ketika saat mengkhabarkan akhlaqnya Ust Luqman. Ust Luqman belajar di Yaman, kapasitas ilmunya seiring dengan para Ust lain yang menyambung pelajaran mereka di peringkat S2 bahkan mungkin S3. Subhanallah..bagiku setiap kuliyahnya, memberikan nasihat yang mendalam sampai saja ada mata-mata yang bergenang dengan air.

Hatta setiap kali Ust Luqman menyampaikan materi kajiannya, semua thulabul 'ilm tunduk diam mendengar. Mereka ngak mau ada poin-poin yang disampaikan oleh Ust Luqman berlalu tanpa mereka menangkap maksud dan isinya. Apabila membicarakan tentang ayat quran, Ust Luqman membahaskan wazn, fiqh lughoh, tafsir dan banyak lagi manfaat yang akan didapatkan dari hasil kajian beliau. Inilah yang dikhabarkan Ust Bukhari kepada kami. Subahnallah, akhlaqnya seorang Ust keluaran dari negeri Yaman.

Inilah akhlaqnya para salaf. Bukan saja baru mengambil S1 atau S2 sudah mulai berlagak. Ada lagi yang sudah tamat S1, namun akhlaq nya seperti orang yang ngak kenal akhlaqul karimah. Ini namanya salaf? Jauh sekali ya Syaikh...amat jauh. Sejenak bersama dengan Ust Bukhari, mengajar kami agar lebih optimis.

Aina Nahnu min akhlaqis salaf???


045 - Ahlu Sunnah tidak ‘gelojoh’ dalam ketaatan kepada pemerintah -Siri 1-

Ahlu Sunnah tidak ‘gelojoh’ dalam ketaatan kepada pemerintah Siri 1 – Cara Menghadapi Pemerintah-

Syaikh Shalih Ibn Fauzan al-Fauzan -hafizahullah- ditanya :

Soalan : Bagaimana manhaj yang benar dalam memberi nasihat terutama kepada pemerintah, apakah dengan mendedahkan perbuatan mereka yang mungkar di atas mimbar-mimbar ataukah menasihati mereka secara sembunyi-sembunyi? Saya mengharapkan perjelasan tentang manhaj yang benar dalam masalah ini?

Jawaban : Kemaksuman itu tidak dimiliki oleh seseorangpun kecuali rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para penguasa itu juga manusia biasa yang mempunyai kesalahan. Tidak diragukan bahawa mereka juga punya kesalahan dan mereka tidaklah maksum. Akan tetapi kita tidak boleh menjadikan kesalahan mereka sebagai celah untuk mendedahkan secara luas dan untuk membangkang dari ketaatan kepada mereka walaupun mereka berbuat kecurangan, kezaliman dan kemaksiatan selama mereka tidak berbuat kekufuran yang nyata sebagaimana hal itu telah diperintahkan oleh Nabi. Walaupun mereka melakukan kemaksiatan, kecurangan dan kezaliman sesungguhnya dalam kesabaran mentaati mereka menjadikan kesatuan kalimat, bersatunya kaum muslimin serta terjaganya negeri mereka.

Sementara menyelisihi dan tidak mentaati para penguasa tersebut terdapat kerosakan yang jauh lebih besar dari kemungkaran yang ada pada mereka. Dengan sikap pembangkangan tersebut akan terjadi kerosakan yang lebih besar dari kemungkaran yang mereka lakukan selama kemungkaran itu belum kekafiran dan kemusyrikan.

Kita juga tidak mengatakan bahawa perbuatan yang dilakukan oleh penguasa tersebut boleh didiamkan begitu saja. Tidak, bahkan wajib diubati. Akan tetapi diperbaiki dengan cara yang benar iaitu dengan menasihati dan mengirim surat kepada mereka secara diam-diam.

Bukannya dengan tulisan yang disertai dengan tanda tangan dari orang ramai kemudian disebarluaskan kepada masyarakat. Ini tentu tidak boleh, tetapi tulis sepucuk surat secara rahsia yang berisi nasihat kemudian diserahkan kepada penguasa atau mengajaknya bicara dengan lisan (berdepan-depan).

Adapun dengan tulisan dan dicetak dan disebarluaskan kepada masyarakat, ini merupakan perbuatan yang dilarang kerana penyarluasan aib penguasa secara umum. Perbuatan ini sama seperti berucap di atas mimbar atau bahkan lebih parah lagi. Kerana ucapan sangat mungkin akan dilupakan, berbeza dengan halnya tulisan yang sentiasa ada dan tersebar luas. Sehingga ini bukanlah sesuatu yang benar.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat” kami para sahabat bertanya : Bagi siapa ya Rasulullah? Beliau menjawab : bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin serta orang awamnya.” (HR Muslim no. 55)

Dalam Hadits lain : Sesungguhnya Allah meredhai kalian 3 perkara, supaya kalian menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun jua, kalian semua bersatu padu dengan tali Allah dan jangan bercerai-berai serta kalian menasihati orang yang telah Allah berikan kekuasaan untuk mengurusi urusan kalian.” (Shahih : al-Muwattha Imam Malik 2/756, Ahmad 2/367)

Orang yang paling berhak untuk menasihati penguasa adalah para ulama, ahli syura dan ahlul hallu wal ‘aqdi. Allah berfiman

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (QS. an-Nisaa’ 4:83)

Tidaklah setiap orang pantas melakukan hal ini. tidak pula melariskan dan mendedahkan kesalahan para penguasa termasuk dalma upaya nasihat sama sekali. Bahkan itu merupakan tindakan penyebarluasan kemungkaran dan kejelekan di tengah-tengah kaum muslimin. Itu bukanlah manhaj salafusoleh walaupun niat dari orang yang melakukannya itu baik. Itu merupakan tindakan mengingkari kemungkaran mengikut anggapannya, tetapi perbuatannya lebih ingkar dari apa yang diingkari. Terkadang mengingkari kemungkaran itu justeru merupakan perbuatan mungkar jika tidak dilakukan di atas jalan disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla dan rasul-Nya.

Kerana dia tidak mengikut jalan rasul yang syar’i yang telah beliau gariskan, di mana beiau bersabda: “Barangsiapa yang melihat di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaknya dia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan lisannya. Jika tidak mampu juga dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim no. 49)

Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam membahagikan manusia kepada tiga bahagian :

Di antara mereka ada yang mampu menghilangkan kemungkaran dengan tangannya iaitu orang yang memiliki kekuasaan ertinya penguasa atau orang yang diberikan urusan tersebut berupa badan-badan hukum, para pemimpin dan para tokoh.

Bagian kedua adalah orang yang mempunyai ilmu tetapi tidak mempunyai kekuasaan, maka dia mengingkari dengan menjelaskan memberikan nasihat dan hikmah dan nasihat yang baik juga menyampaikan kepada penguasa melalui lembaga peradilan.

Bagian ketiga adalah orang yang tidak mempunyai ilmu juga kekuasaan maka dia mengingkari dengan hatinya dengan membenci pelakunnya serta meninggalkannya. (-selesai jawaban- al-Ajwibah Mufidah, edisi terjemahan Jawab Tuntas Masalah Manhaj Pstka al-Haura’ ms. 57-61 -dengan sedikit perubahan bahasa-)

Adakah Syaikh memahami nash hadits secara gelojoh?

Islam anda tafsiran siapa? Persoalan yang ditujukan kepada kaum muslimin seluruhnya tetapi khusus membicarakan pemahaman kaum salaf dari negeri Yaman dan Madinah. Dalam menyingkap persoalan tersebut, saya berkeinginan untuk menyentuh isu pemerintahan ini sebagaimana yang telah dinyatakan Syaikh Shalih al-Fauzan, dan adakah Syaikh dan juga Ulama dari jazirah ini memahami isu pemerintahan sebagaimana yang difahami oleh salaf terdahulu?

Merujuk kembali kepada tajuk artikel ‘Islam anda tafsiran siapa’, penulis artikel tersebut menyeru kaum muslimin supaya kembali kepada al-Quran dan Sunnah ‘ala fahmis salaf-jika benar demikian seruannya- .Persoalan, adakah Syaikh dan Ulama dari Jazirah ini memahami persoalan ini sebagaimana pahamnya para salaf?

Saya rincikan hal ini satu persatu.

Persoalan “adakah poin-poin yang disampaikan oleh syaikh itu selari dengan pemahaman para salaf?”

Pertama: Pemerintah yang melakukan kezaliman terhadap rakyatnya, apakah perlu ditaati atau perlu dicabut ketaatan darinya? Syaikh menyatakan bahawa mereka masih perlu ditaati selagi tidak terlihat kekufuran yang nyata sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kedua: Adakah kita perlu sabar terhadap pemerintah yang zalim, adakah buah pikiran ini hasil dari pikiran syaikh atau ianya telah tsabit dari nash?

Jawaban:

Pertama: Bagi orang yang memiliki bashirah, mata hati yang bersih untuk meneliti nash dan berjalan di atas manhaj salaf yang murni sebagaimana warisan yang telah dijelajahi oleh sahabat nabi dan juga generasi setelah mereka, sepertimana jua yang ditelusuri oleh Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan dan ulama Jazirah arab lainnya, pasti orang-orang tersebut memahami bahawa tidak boleh mencabut ketaatan dari pemerintah selagi tidak terlihat kekufuran yang nyata.

Syaikh juga mengisyaratkan bahawa ketaatan itu dicabut setelah jelasnya kekufuran sebagaimana yang telah jelas di dalam nash :
Nabi mengundang kami kemudian kami membaiat beliau untuk sentiasa mendengar dan taat (kepada penguasa) baik dalam keadaan lapang dan terpaksa, susah dan mudah sehinggakan mereka (penguasa) mengutamakan diri mereka sendiri atas kami serta agar kami tidak mencabut urusan itu (keuasaan) atas pemiliknya kecuali kalian mempunyai kekafiran yang nyata yang kalian mempunyai buktinya dari sisi Allah.” (Fathul Bari 13/5)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal menambahkan : walaupun kamu melihat dirimu –kamu meyakini bahawa dirimu- benar dalam masalah itu. Janganlah kamu melakukan berdasarkan prasangka itu bahkan tetaplah mendengar dan taat sampai dia mendatangimu, tanpa kamu keluar dari ketaan terhadapnya.

Dalam riwayat yang lain seperti yang dibawakan oleh al-Imam Ahmad dan al-Imam Ibnu Hibban “ Walaupun mereka memakan hartamu dan memukul punggungmu.” (Fathul Bari 13/8, dinukil dari Jawab Tuntas Masalah Manhaj)
Kedua : Kesabaran dalam menghadapi pemerintah yang zalim

Syaikh mengatakan : Walaupun mereka melakukan kemaksiatan, kecurangan dan kezaliman sesungguhnya dalam kesabaran mentaati mereka menjadikan kesatuan kalimat, bersatunya kaum muslimin serta terjaganya negeri mereka. Syaikh Furaihan hafizhahullah -penyusun kepada kitab ini- meletakkan footnote pada poin ini dengan membawakan hadits
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma dari nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda : Barangsiapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dia benci, maka hendaknya dia bersabar. Kerana orang yang memisahkan diri dari jamaah walaupun sejengkal kemudian dia mati, maka matinya dalam keadaan jahiliyah. (Fathul Bari 13/8)

Juga hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu bahawa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : sesungguhnya kalian akan melihat setelahku sikap adanya sikap mementingkan diri sendiri dan perkara-perkara yang kalian ingkari, para sahabat bertanya “Jika demikian apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” beliau menjawab “Tunaikanlah hak mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah” (HR Bukhari no. 7054)
Dari nash-nash yang disampaikan dan juga jawaban berupa poin-poin dari Syaikh, adakah ianya selaras dengan pahamnya para salaf? Hal ini kita nilai dari hujah dan dalil yang diutarakan oleh para aimmatus salaf. Inilah pelajaran yang kita ambil dari aimmatus salaf seperti

Imam Hasan al-Bashri Rahimahullah:
Sungguh menghairankan orang yang takut kepada seorang raja atau suatu kezaliman setelah dia beriman dengan ayat ini. Ketahuilah demi Allah seandainya manusia bersabar kerana perintah Allah tatkala diuji, nescaya Allah akan menghilangkan kesusahan dari mereka, akan tetapi mereka tidak sabar dengan pedang, maka mereka diserahkan dengan rasa takut. Dan kami berlindung kepada Allah dari keburukan ujian. (Tafsir al-hasan 1/386, nukilan dari Keyakinan Imam Ahmad dalam Aqidah)
Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah berkata :
والسمع والطاعة للأئمة وأمير المؤمنين البر والفاجر ومن ولي الخلافة واجتمع الناس عليه ورضوا به ومن عليهم بالسيف حتى صار خليفة وسمي أمير المؤمنين

Mendengar dan taat dari para imam dan pemimpin kaum mukminin yang baik maupun buruk. Dan kepada khalifah yang manusia bersatu meredhainya. Dan juga kepada orang yang telah mengalahkan manusia dengan pedang hingga dia menjadi khalifah dan disebut sebagai amirul mukminin.

ومن خرج على إمام من أئمة المسلمين وقد كانوا اجتمعوا عليه وأقروا بالخلافة بأي وجه كان بالرضا أو الغلبة فقد شق هذا الخارج عصا المسلمين وخالف الآثار عن رسول الله صلى الله عليه و سلم فإن مات الخارج عليه مات ميتة جاهلية

Barangsiapa yang keluar (dari ketaatan) terhadap seorang pemimpin dari para pemimpin kaum muslimin, padahal manusia telah bersatu mengakui kekhalifahan baginya dengan cara apapun, baik dengan cara redha atau kemenangan (dalam perang), maka sungguh orang tersebut telah memecah belah persatuan kaum muslimin dan menyelisihi atsar-atsar dari rasulullah. Dan apabila dia mati dalam keadaan demikian maka matinya seperti mati jahiliyah. (Ushulus Sunnah Imam Ahmad bin Hanbal poin ke-15 dan ke-20, cetakan Dar Al-manar Saudi)
Imam at-Thahawi Rahimahullah berkata :

ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أمورنا وإن جاروا ولا ندعوا عليهم ولا ننزع يدا من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز و جل فريضة ما لم يأمروا بمعصية وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة

Kita tidak berpandangan bolehnya memberontak kepada imam dan penguasa kita walaupun mereka berbuat penyimpangan. Kita tidak boleh mendoakan kejelekan untuk mereka, tidak mencabut ketaatan dari mereka dan kita menyatakan bahawa ketaatan kepada mereka merupakan ketaatan kepada Allah dalam perkara yang wajib selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat. Kita juga mendoakan untuk mereka kebaikan dan ampunan. (Aqidah at-Thahawiyah, Maktabah Syamilah)
Imam Abu Ismail as-Shobuni Rahimahullah ketika menerangkan karakteristik Ashabul hadits beliau berkata :
ويرون الدعاء لهم بالإصلاح والتوفيق والصلاح، ولا يرون الخروج عليهم وإن رأوا منهم العدول عن العدل إلى الجور والحيف. ويرون قتال الفئة الباغية حتى ترجع إلى طاعة الإمام العدل.

Mereka juga menganjurkan untuk mendo'akan mereka (pemerintah) agar menjadi baik dan mendapat hidayah (serta menebarkan keadilan dalam masyarakat).

Mereka juga tidak membolehkan untuk memberontak kepada pemimpin-pemimpin fasiq tersebut, meskipun mereka menyaksikan penyimpangan pemerintah dari konsep keadilan dan menggantinya dengan diktatorisme dan penindasan.

Mereka juga berpendapat untuk memerangi para pemberontak sampai orang-orang itu kembali taat kepada pemerintah. (I’tiqod Ahlu Sunnah Syarah Ashabul Hadits lil Syaikh Muhammad bin Abdurahman Khumais ms. 103)
Ibnu Abil Izz al-Hanafi Rahimahullah berkata di dalam kitabnya Syarh Aqidah at-Thahawiyah:
Al-Quran dan Sunnah telah menunjukkan wajibnya mentaati para pemimpin, selama mereka tak menyuruh berbuat maksiat. Camkanlah firman Allah

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS. an-Nisaa’ 4:59)

Allah berfirman “dan taatilah Rasul..” namun tidak menyatakan “dan taatilah pemimpin-pemimpin di antara kamu..”? kerana para pemimpin itu tidak ditaati secara menyendiri. Akan tetapi ditaati juga dalam ketaatan kepada Allah. Kerana Rasul tidak akan memerintahkan untuk bermaksiat. Justeru beliau terpelihara dari perbuatan itu, adapun para pemimpin terkadang mereka memerintahkan bukan untuk taat kepada Allah. Maka mereka hanya ditaati selama memerintahkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Adapun kewajiban untuk mentaati mereka (bukan dalam maksiat) meskipun mereka berbuat zalim disyariatkan kerana keluar dari ketaatan kepada mereka akan melahirkan kerosakan yang berganda-ganda dibandingkan kezaliman mereka sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipat gandakan pahala. Kerana Allah tidak akan menguasakan mereka atas diri mereka atas diri kita melainkan kerana kerosakan amal perbuatan kita juga .

Ganjaran itu bergantung pada amal perbuatan. Maka hendaknya kita bersungguh-sungguh memohon keampunan, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan. Allah berfirman:
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. asy-Syuraa 42:30)

Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan. (QS. al-An’aam 6:129)

Apabila rakyat ingin selamat dari kezaliman pemimpin mereka, hendaknya mereka meninggalkan kezaliman itu juga. (Tahdzib Syarah Aqidah at-Thahawiyah Syaikh Abdul Akhir –edisi terjemanhan Indonesia terbitan pustaka at-Tibyan-)
Bersambung.....

Penyusun : Abu Hurairah al-atsary






044 - Wafatnya Syaikh Abdullah Ibn Jibrin

Wafatnya Syaikh Abdullah Ibn Jibrin

Innalillah wa inna ilaihi roji’un

Bismillahirrahmanirrahim.

ولنبلونكم بشيء من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثمرات وبشر الصابرين * الذين إذا أصابتهم مصيبة قالوا إنا لله وإنا إليه راجعون * أولئك عليهم صلوات من ربهم ورحمة وأولئك هم المهتدون

“Dan sungguh akan kami uji kalian dengan sesuatu dari rasa takut,kelaparan dan kekurangan harta,jiwa dan buah-buahan.Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.Mereka yang apabila ditimpa musibah mengatakan “Innalilllah wainna ilaihi roji’un”.Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka.Dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk. QS. Al-Baqarah (155-157)

Telah berpulang kerahmat Allah Syaikh kita,Imam kita dan orangtua kita Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Ibnu Jibrin jam 2 siang ba’da sholat dzuhur pada hari ini ,senin 20/7/1430 H.Dan rencana akan dishalatkan besok selasa 31/7/1430 di Jami’ Imam Turkiy bin Abdillah (Al Jami’ Al Kabir) di Riyadh.Kita memohon kepada Allah agar Allah limpahkan kepada beliau rahmat dan membalasnya dengan kebaikan sebaik-baik ganjaran.Serta menjadikan beliau bersama para malaikat di surga firdaus yang paling tinggi.Sesungguhnya Allah berkuasa dan mampu untuk itu.Innalillah wa inna ilaihi raji’un.

Maktab Syaikh Abdullah Ibn Jibrin
Senin,20/7/1430H bertepatan 13 Juli 2009
http//Ibn-jebreen.com

Dicopy dari : Forum Komunikasi Islam ITB



043 - Kewajiban Merapatkan Shaf

Kewajiban Merapatkan Shaf

Firman Allah Ta'ala:

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang solat (yaitu) orang-orang yang lalai dari solatnya (QS. al-Maa’un 107:4-5)

Al-Imam asy-Syanqithi menyebutkan tafsir ayat ini di dalam kitab Adwa`ul Bayan :
Telah terjadi khilaf di antara ulama tentang perkataan ‘mushollin’ orang-orang yang dihadapkan ancaman neraka Wail terhadap mereka.

Dan Jumhur mengatakan : sesungguhnya mereka (mushollin –orang-orang yang solat yang dimaksudkan mendapat ancaman) itu ialah orang yang lalai dari menunaikan solat, dan bermudah-mudahan dari perintah yang sepatutnya dipelihara olehnya (seperti rukun-rukun dan kewajiban yang ditetapkan di dalamnya).

Dan ada pula yang berkata : mereka yang lalai dari khusyu’ dan juga lalai dari mentadabburi maknanya.
Akan tetapi yang shahih adalah yang pendapat yang awal. (Adhwaul Bayan lil Imam asy-Syanqithi tafsir surah al-Ma’un ayat 4-5)
Di antara kewajiban dalam menunaikan solat terkhusus yang ingin dibicarakan di sini ialah etika solat berjemaah antaranya ialah meluruskan shaf.

Kerana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Rapatkanlah shaf kalian kerana merapatkan shaf termasuk penegakan solat. (HR Buknari no. 723)
Di dalam riwayat yang lain : Termasuk kesempurnaan solat.

Dalam riwayat Abu Hurairah : Termasuk kebaikan solat. (HR Bukhari no. 722 dan Muslim no. 435)
Etika orang yang solat berjemaah adalah memelihara kewajipan meluruskan shaf, sekiranya dia melalaikan perintah ini maka dia tergolong di dalam kalangan orang-orang yang lalai dan dikhuatiri dia terancam dengan ancaman dari Allah –wal iyya dzubillah.

Perintah ini adalah mutlak dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sabdanya:
Hadits dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu : Rasululah biasa mengatur bahu-bahu kami ketika hendak solat sambil berkata : Luruskanlah shaf dan janganlah berselisih hingga membuat hati kalian saling berselisih.

Hadits dari Ibnu Umar Radiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Rapatkanlah shaf kalian, rapatkanlah bahu kalian, tutuplah celah, berlemah lembutlah terhadap tangan-tangan saudara kalian yang meluruskan shaf, jangan biarkan ada celah untuk setan-setan, barangsiapa menyambung shaf maka Allah akan menyambungnya barangsiapa yang memutus shaf nescaya Allah akan memutusnya. (HR Abu Daud no. 666 dan Ahmad 2/98)
Sehinggakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umat islam untuk merapatkan shaf sebagaimana para malaikat yang beratur di hadapan Allah sebagimana di dalam hadits Jabir bin Samurah Radiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Maukah kalian bershaf sebagaimana para malaikat bershaf di hadapan Rabb-Nya? Kami berkata : Wahai rasulullah bagaimana Para malaikat bershaf di hadapan Rabb-Nya? Rasul bersabda : mereka terlebih dahulu menyempurnakan shaf pertama dan merapatkannya. (HR Muslim no. 430)
Dari hadits di atas jelas menunjukkan bahawa betapa pentingnya bagi setiap muslim yang mendirikan solat berjemaah untuk mengambil berat mengenai masalah merapatkan shaf.

Bagaimana shaf itu didirikan?
Berdasarkan kepada hadits dari Anas bin Malik Radiyallahu ‘anhu dia berkata :
Setiap orang merapatkan bahunya dengan bahu orang yang disampingnya dan merapatkan kakinya dengan kaki orang yang disampingnya. (HR Bukhari 722 dan Muslim 435)

Dari hadits Nu’man bin Basyir Radiyallahu ‘anhu : Aku melihat mereka meraoatkan bahunya dengan bahu orang yang disampingnya, lututnya dengan lutut orang disampingnya serta mata kakinya dengan mata kaki orang disampingnya.” (HR Abu Daud no. 662 dengan sanad yang shahih)
Imam Bukhari membuatkan satu bab mengenai shaf di dalam solat dengan judul “Bab : merapatkan bahu dengan bahu dan kaki dengan kaki di dalam Shaf”dan ini merupakan pendapat Imam Bukhari bahawa shaf itu didirikan sebagaimana yang disebutkan di atas.

Dari sini kita dapat mengetahui bahawa shaf yang lurus dan rapat itu didirikan dengan cara merapatkan bahu dengan bahu dan kaki dengan kaki. Maka dengan itu baru shaf itu dikatakan lurus dan rapat.

Pendapat Para Ulama Mengenai Shaf

Al-Imam Ibn Hazm rahimahullah berkata : Jika meluruskan Shaf termasuk kesempurnaan dalam solat, maka hukumnya wajib, kerana menjalankan solat itu hukumnya wajib, maka sesuatu yang termasuk bahagian wajib, hukumnya wajib”. (al-Muhalla 4/75, nukilan dari Bengkoknya Shaf Membawa Bencana oleh Syaikh Husain Bin ‘Audah al-Awayisyah)

Berkata al-Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah : Jika meluruskan shaf di dalam solat itu tidak wajib, tentu seseorang boleh berdiri berada di belakang seseorang dan seseorang.” (Majmu’ Fatawa 23/394, nukilan dari buku yang sama)

Orang-orang yang pergi ke masjid untuk mendirikan solat berjemaah dengan shaf yang rapat, teratur, kemas, lurus dan penuh disiplin, mereka adalah orang-orang yang terbaik dari sekian banyak orang.

Allah memilih mereka untuk mendirikan solat berjemaah, diberikan ganjaran dari 25-27 kali ganda pahala, dimuliakan dari manusia yang lain baik mereka yang solat sendirian atau yang tidak solat dan mereka yang solat berjemaah seolah-olah tentera yang berada di hadapan Allah sebagaimana para malaikat yang berbaris di hadapan Allah. Kepada sesiapa yang ingin menjadi sepertimana yang dilakukan oleh para malaikat yang berbaris di hadapan Allah, maka dia perlu memerhatikan shaf solat nya. Bukankah orang yang solat itu sedang menghadap Allah, lalu kenapa masih ada yang tidak mahu merapatkan shaf??

042 - Realiti Manusia

Realiti Manusia

Seorang peniaga, akan berusaha agar perniagaannya tidak merosot walau sedikit. Dia sentiasa memantau perjalanan bisnesnya pada setiap keadaan, waktu, hari, pendek kata setiap masa dia peruntukkan untuk memerhatikan perniagaannya agar tidak merosot. Kerana apabila bisnesnya merosot, maka duit atau hasil yang sepatutnya dia raih akan berkurangan dan boleh jadi juga dia akan mengalami kerugian.

Bagi seseorang yang mementingkan kesihatan dirinya, dia sentiasa mencuba untuk memastikan agar tidak ada penyakit yang terjangkit olehnya. Dia memastikan 100% makanan yang masuk ke dalam perutnya itu adalah makanan yang bersih, kandungan lemak, mineral, vitamin yang sepatutnya dia hadam semuanya berada di dalam kuantiti yang ideal yang sepatutnya dia hadamkan. Tidak ada ruang baginya untuk mencuba makanan-makanan yang enak, kerana baginya makanan seperti itu adalah makanan yang merosakkan badan, luaran sahaja yang memukau akan tetapi kandungan zatnya boleh membunuh sel-sel dan dirinya.

2 keadaan di atas merupakan contoh bagi manusia yang mempunyai kesedaran yang tinggi terhadap hal yang bermanfaat baginya, bagi seorang peniaga, keuntungan adalah segala-galanya lalu dia memilih untuk memastikan keuntungannya tidak merosot. Begitu juga dengan manusia yang lain, bagi hal-hal yang bermanfaat untuknya maka dia akan mengerahkan seluruh tenaga dan usaha agar manfaat yang dia harapkan akan dia peroleh sepenuhnya.

Namun, berapa ramai peniaga yang sedar bahawa iman di dalam dirinya adalah sesuatu yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya? Berapa ramai orang yang menjaga kesihatan dirinya sedar akan iman yang sepatutnya menerima zat-zat mineral yang dapat memastikan iman itu terus sihat dan tidak terjangkit oleh penyakit?

Tidak ramai manusia yang sedar akan hal ini. Sedikit dari mereka yang sedar dan ramai dari mereka yang lalai. Inilah realiti manusia zaman ini.

041 - Menjadi manusia yang bersegera kepada kebaikan

Menjadi manusia yang bersegera kepada kebaikan

Manusia terbahagi kepada 3 golongan sebagaimana yang Allah sebutkan di dalam kitab-Nya yang mulia di dalam surah al-Fathir ayat 32
di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.(QS. al-fathir 35:32)
Orang yang biasa mentadabburi al-quran, mesti akan terdetik di hatinya tatkala dia sedang membaca atau melewati ayat ini, "di kelompok mana satukah aku ini?"

Ayat ini memberikan pengaruh yang besar kepada hati orang-orang yang takut kepada Allah. Dia mentadabburinya dengan penuh cermat. Dia cuba mengaplikasikan makna dan pengajaran dalam ayat ini di dalam kehidupannya.

Bagaimana cara yang sepatutnya kita beramal dengan ayat tersebut?

Sebahagian orang berkeluh kesah, merintih kepada nasibnya, "Mengapa aku sering bermaksiat kepada Allah?", "Mengapa aku susah untuk menjadi hamba Allah yang soleh sebagaimana manusia yang lain?"..inilah ragam sebagian manusia, dia menangisi dirinya kerana dosa dan kesalahan yang dilakukan.

Namun, dia akan tersedar apabila melihat ayat yang sedang kita bicarakan di atas.

Pertama, Keluhannya terhadap dirinya membuktikan bahawa dia adalah orang yang masih mengakui keagungan Rabb-Nya, mengakui bahawa Malaikat yang berada di kiri dan kanannya mencatit dosa dan amal yang dilakukan, ini adalah bagian dari keimanannya kepada perkara ghaib.

Kedua, Allah tetapkan manusia untuk menjadi beberapa kelompok, jika seandainya dia memilih untuk menjadi kelompok yang bersegera kepada melakukan kebaikan, pasti dia tidak akan mengeluh kepada nasibnya yang sering bermaksiat. Jika dia memilih untuk melengah-lengahkan masa untuk mengerjakan kebaikan, maka dia tergolong kepada kelompok yang pertengahan, kerana orang yang berlengah-lengah lebih mudah untuk terlibat dalam maksiat kepada Allah.

Kerana apabila masa atau keadaan pada saat itu tidak ditegakkan dengan kebenaran dan amal soleh, pasti maksiat dan kebatilan yang akan datang bertandang, inilah saat yang dinanti-nanti oleh Syaitan yang sekian lama memerhatikan peluang untuk menambahkan temannya di dalam neraka.

Tapi, jika dia memilih untuk menunda kebaikan dan taubat kepada Allah, kemudian dia lebih memilih dosa dari pahala, maka dia tergolong di dalam kelompok orang-orang yang menzalimi diri sendiri. Di sinilah petunjuk atau check point bagi diri seorang muslim itu, apakah dia seorang yang sering mendahulukan redha Allah atau redha hawa nafsunya. Semuanya tergantung daging yang ada di dalam dirinya yang bernama hati.

Ketiga, ayat ini memberikan kesedaran kepada manusia bahawa mereka adalah makhluk yang lemah, sering salah dan terleka. Namun sebaik-baik orang tersalah adalah orang yang bertaubat kepada Allah. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Setiap bani adam itu melakukan dosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah orang yang bertaubat kepada Allah (Hasan: Shahih wa Dhaif Jami'us Shaghir no. 8644)
Lalu dengan dosa yang telah dilakukan tadi, membuatkan dia mengeluh/menyesal dari perbuatan dosanya tadi. Ini juga satu bentuk dari taubat kepada Allah kerana sabda Nabi
"Penyesalan itu adalah taubat" (Shahih : Sunan Ibnu Majah no. 4252)
Apa yang perlu dilakukan oleh orang yang berdosa?

Jawabnya, hendaklah mereka kembali bertaubat kepada Allah dan mempertingkatkan amal dan ketaqwaan mereka kepada Allah. Jangan sesekali mereka lemah dengan dosa yang telah lalu, kerana lemah dari bertaubat kepada Allah adalah satu bentuk keterputus asaan. Sedangkan Allah adalah Dzat yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dia akan menukarkan satu kaum yang tidak berdosa kepada-nya kepada kaum yang melakukan dosa dan kemudian mereka bertaubat kepada-Nya.

Jadi, kembalinya seseorang itu kepada Allah dengan mengakui kelemahan dirinya, maka akan memberikan motivasi kepada hatinya bahawa dia perlu menjadi hamba yang bersegera kepada ketaatan kepada Allah agar dia tidak lagi termasuk di dalam kalangan orang-orang yang bermaksiat kepada Allah, dan inilah golongan yang paling utama. Paling tidak pun di kalangan kelompok yang kedua iaitu yang berada di pertengahan, kadang-kadang dia melakukan ibadah kepada Allah, dan terkadang dia bermaksiat kepada-Nya.

Allahu Ta'ala a'lam







040 - Doa Apabila Ditimpa Kesusahan

Doa Apabila Ditimpa Kesusahan

Allah yang menciptakan kesusahan dan Dialah juga yang menciptakan kemudahan. Tiada kemudahan melainkan perkara itu telah Allah tetapkan ia menjadi mudah dan tiada perkara yang susah, melainkan ia boleh menjadi mudah apabila Allah kehendaki. Begitulah doa yang kita dapat lihat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

اَللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً.

Ya Allah! Tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau jadikan mudah. Sedang yang susah dapat Engkau jadikan mudah, apabila Engkau menghendakinya.”

[HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya no. 2427 (Mawaarid), Ibnus Sunni no. 351. Al-Hafizh berkata: Hadits di atas sahih, dan dinyatakan shahih pula oleh Abdul Qadir Al-Arnauth dalam Takhrij Al-Adzkar oleh Imam An-Nawawi, h. 106.]

Rujukan : Hisnul Muslim


039 - Gurauan dan Tawa Syaikh Ibnu Baz

Gurauan dan Tawa Syaikh Ibnu Baz

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa di Saudi Arabia). Meski beliau adalah seorang ulama besar bertaraf antarabangsa, namun di antara sisi-sisi kehidupan beliau juga terdapat gurauan dan jenaka. Seorang ulama tidak sepatutnya hanya menjalani hidup dengan begitu serius. Gurauan yang tepat dan proposional adalah bagaikan garam bagi kehidupan kita.

Jika ada seorang yang berkunjung ke rumah Syaikh Ibnu Baz maka beliau pasti menawarkan kepada orang tersebut untuk turut serta makan malam bersama beliau. Jika orang tersebut beralasan, “Wahai Syaikh, saya tidak dapat” maka dengan nada berkelakar Ibnu Baz berkata, “Engkau takut dengan istrimu ya?! Marilah makan malam bersama kami”.

Ada salah seorang suami dari cucu Syaikh Ibnu Baz menemui beliau dan berkata, “Wahai Syaikh, kami ingin agar engkau mengunjungi dan makan di rumah kami”. Jawab beliau, “Tiada masalah, jika engkau menikah untuk kali kedua maka kami akan datang ke acara walimah insya Allah”.

Setelah pulang, orang ini bercerita kepada istrinya tentang apa yang dikatakan oleh datuknya. Dengan pantas cucu perempuan dari Syaikh Ibnu Baz menghubunginya. “Wahai Syeikh, apa maksudnya?”. Ibnu Baz berkata kepada cucunya, “Kami hanya berlawak dengan dia. Kami tidak mengharuskannya untuk nikah lagi. Kami akan berkunjung ke rumahmu meski tidak ada acara pernikahan”.

Ketika Syaikh Ibnu Baz hendak menjalani rakaman untuk acara Nurun ‘ala Darb (acara soal jawab di radio Al Qur’an Al Karim di Saudi), biasanya beliau menanggalkan kain serbannya dan dengan nada bergurau beliau berkata, “Siapa yang mau memikul amanah?”. Jika ada salah seorang yang ada di tempat tersebut mengatakan, “Saya” maka beliau berkata, “Silahkan ambil”.

Suatu ketika, ketika Syaikh Ibnu Baz hendak menjalani rakaman untuk acara Nurun ‘ala Darbi, ada seorang yang berada di tempat tersebut sedangkan Syaikh ingin agar dia keluar namun dengan cara baik-baik. Beliau berkata, “Wahai fulan, kami hendak buat rakaman untuk dua sesi sekaligus dan aku rasa ia mengambil waktu yang cukup lama”. “Tidak apa-apa, insya Allah. Aku akan duduk dan mendapat banyak ilmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Baz berkata, “Aku khuatir engkau akan batuk. Bukankah kau tahu bahwa dalam proses rakaman tidak boleh ada suara batuk ataupun suara lainnya”. Orang tersebut berkata, “Insya Allah, aku tidak akan batuk”. Syaikh berkata, “Tidak, batuk yang akan mendatangimu”. Akhirnya orang tersebut faham apa yang diinginkan oleh Syaikh Ibnu Baz. Orang tersebut lantas keluar meninggalkan ruangan rakaman.

Disamping bercanda, beliau juga terkadang menangis. Beberapa kali acara pengajian berhenti dan putus di tengah jalan dikarenakan beliau menangis.
Ketika Syeikh Ibnu Qasim membaca kitab Zaad al Ma’ad di hadapan beliau, ketika sampai pembahasan tuduhan dusta terhadap Aisyah, beliau menangis. Jadilah pengajian terputus di tengah jalan karena tangisan.

Ketika dibacakan di hadapan beliau kejadian wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tepatnya ketika Abu Bakr berkata, “Siapa yang menyembah Muhammad maka sungguh Muhammad telah meninggal dunia” maka Syeikh Ibnu Baz menangis keras.
Demikian pula, beliau menangis ketika di sampaikan kepada beliau berbagai musibah yang menimpa kaum muslimin, meski ketika beliau sedang makan atau mengisi pengajian.

Inilah gurauan dan tangisan seorang ulama, menangis ketika keadaan menuntut demikian. Sebaliknya, bergurau juga pada kondisi yang tepat.
Terkait dengan canda, Syeikh Ibnu Sa’di mengatakan,
“Canda itu bagaikan garam untuk makanan. Jika terlalu banyak tidak enak, terlalu sedikit juga tidak enak”.
Jangan pula bercanda dengan semua orang. Canda adalah bagian dari dakwah.
Dalam kitab Al Istiqomah, Ibnu Taimiyyah berkata,
“Nabi tidak pernah bercanda dengan para sahabat senior baik dari kalangan muhajirin ataupun anshar. Beliau hanya bercanda dengan wanita, orang miskin, anak-anak dan orang-orang lemah semisal budak yang memang memerlukan perhatian khusus”.
[Dicopy dari blog Ust Aris Munandar]