026 - Seminar Umat Islam Dikepung Dari Segala Penjuru

Seminar:
“Umat Islam Dikepung Dari Segala Penjuru”

Pembentang:
Ust. Abu Ihsan al-Atsary

(Pemantau/Panel Penterjemahan Pustaka Imam asy-Syafi’i)

Tempat:
Bangunan Pengajian al-Faqeh,

35-A, Jalan Cokmar 1, Taman Mutiara,
Bukit Raja, OFF Jalan Meru,
41050 Klang, Selangor.

Tarikh:
09 Mei 2009 (Sabtu)

Masa:
9.00 pagi – 5.00 ptg.

Bayaran:
RM15.00 (Pendaftaran)
RM15.00 (Buku)

Urusan Pendaftaran:
Hubungi Adi Negara, 016-2091531.

Kandungan Seminar:

Topic-topic yang akan dibicarakan adalah berpandukan kepada sebuah buku tulisan Syaikh Salim ‘Ied al-Hilali, berjudul “Umat Islam dikepung Dari Segala Penjuru”. Buku ini mengupas/mensyarahkan sebuah hadis, iaitu hadis dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda (maksudnya):

Hampir-hampir orang-orang kafir saling menyeru untuk menyerang kamu dari segala penjuru sebagaimana orang-orang yang hendak makan (dalam keadaan yang sangat lapar) mengerumuni dulang yang berisi makanan. Dia (Tsauban) berkata: Kami (sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah adakah pada waktu itu jumlah kami sangat sedikit”. Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Tidak, pada waktu itu kamu berjumlah ramai/banyak. Akan tetapi kamu seperti buih banjir. Dan benar-benar Allah akan mencabut dari hati musuh-musuh kamu rasa takut kepada kamu. Dan benar-benar Allah akan mencampakkan al-Wahn ke dalam hati-hati kamu”. Mereka (para sahabat) bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksudkan dengan al-Wahn tersebut?” Nabi menjawab: “Mencintai dunia dan takut (membenci) kepada mati (akhirat)”. (Hadis Riwayat Ahmad, al-Musnad, 5/278)

Di antara point-point yang dibicarakan adalah:

1 – Status hadis

2 – Permusuhan di antara orang-orang kafir. Namun, mereka boleh bersatu untuk menentang umat Islam.

3 – Wilayah umat Islam adalah sumber kebaikan dan keberkahan.

4 – Orang-orang kafir sentiasa berusaha merampas sumber-sumber dari bumi umat Islam.

5 – Orang-orang kafir melakukan angkara supaya umat Islam berpecah belah.

6 – Kekuatan Umat Islam bukan pada jumlah bilangan serta persenjataan.

7 – Orang kafir hilang rasa takut terhadap umat Islam.

8 – Kesan buruk dari perbuatan mencintai dunia.

9 – Orang-orang kafir tidak akan mampu memusnahkan umat Islam.

10 – Tashfiyah dan Tarbiyah adalah jalan membina semula kekuatan umat Islam.

[Ehsan dari al-Akh Nawawi Subandi]

025 - Sikap berhati-hati dalam menyampaikan hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam -Siri Akhir-

Untuk akhirnya, saya menggariskan panduan kepada semua saudaraku yang dirahmati Allah tentang kaedah dalam menyampaikan hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Panduan dalam menyampaikan hadits

1. Dia tidak menyampaikan hadits palsu
2. Dia tidak bersangka-sangka (zhan) tentang hadits yang dibawanya
3. Mempunyai ingatan yang kuat
4. Tidak menambah dan membuat ringkasan sehingga merubah makna, hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang ahli sahaja dalam bidang hadits ataupun orang yang mempunyai asas dalam ilmu hadits seperti sanad, matan, riwayat, jarh wa ta’dil dan semacamnya
5. Menyebut perawi hadits, minimum menyebutkan dari kitab mana dia mengambil hadits seperti Shahih Bukhari dan lainnya kecuali orang yang ahli dalam bidang ini tidak mengapa untuk tidak menyebut perawinya
6.Mengetahui derajat hadits yang dinukil
7. Mengambil hadits dari kitab-kitab muktabar yang telah diteliti haditsnya dan baru kemudian disampaikan
8. Tidak menyampaikan hadits dhaif kemudian berhujah untuk fadhailul a’mal (InsyaAllah akan ada pembahasannya di waktu yang akan datang, bi Iznillahi Ta’ala)
9.Menerima tahqiq hadits yang telah sah, contohnya apabila ada suatu hadits yang dibahasnya, lalu datang keterangan bahawa hadits tersebut adalah tidak shahih serta tidak boleh dijadikan hujah, makanya orang ini wajib menerima keterangan tersebut jika hujahnya itu kuat dan berdasarkan kaedah syar’ie

Panduan dalam mendengarkan hadits

1. Setelah dia mendengarkan hadits, wajib ke atasnya untuk meneliti kebenaran ucapan orang yang menyampaikan
2. Berhati-hati dalam menerima hadits, kerana para ulama hadits telah menukilkan bagaimana pemalsu-pemalsu hadits telah merusak Sunnah Nabi r. Berkata Hammad bin Zaid (seorang tabi’ut tabi’in yang terkemuka wafat pada tahun 190H) : “kaum zindiq telah memalsukan hadits atas nama Rasulullah r sebanyak 14,000 hadits (palsu/maudhu’).”
Ada seorang pendusta hadits Abdul Karim bin Awjaa' di zaman khalifah al-Mahdi di Bashrah pada tahun 160H, ketika saat ingin hendak dibunuh dia mengatakan ; “Demi Allah sesungguhnya aku telah memalsukan (hadits) pada kamu sebanyak 4000 hadits (palsu). Aku haramkan padanya perkara yang halal dan aku telah halalkan padanya perkara yang haram.”
Imam Nasai’e berkata : Para pendusta hadits yang terkenal berjumlah 4 orang : 1) Ibnu Abi Yahya di Madinah, 2) al-Waqidiy di Baghdad, 3) Muqatil bin Sulaiman di Khurasan, 4) Muhammad bin Said di Syam yang terkenal dengan sebutan Mashlub yakni orang yang mati disalib”. (Adh-Dhu’afaa Wal Matrukin ms. 310).

Berkata guru kepada Imam Malik (wafat tahun 148H) : ada seorang lelaki yang telah bertaubat dari bid’ahnya (kesalahannya) dia berkata; “Perhatikanlah hadits itu dari siapa kamu mengambilnya! Kerana kami dahulu , apabila berpendapat, kami jadikan pendapat kami itu sebagai sebagai hadits”

Berkata Abdullah bin Lahi’ah wafat tahun 174H, aku telah mendengar seorang Syaikh dari Khawarij yang telah bertaubat dia berkata : “Sesungguhnya hadits-hadits ini adalah agama kamu, maka perhatikanlah dari mana kamu mengambil agama kamu. Kerana kami dahulu ketika condong kepada satu urusan, maka kami jadikan urusan itu sebagai hadits (dia menjadikan bid’ahnya itu sebagai hadits palsu).” (Lihat kitab al-Madkhal ms. 51-59, al-Maudhu’aat 1/37-47, Majmu’ Fatawa 18/46 dll)
3. Mendengarkan hadits dari orang yang ahlinya, minimum orang itu mempunyai ilmu dalam menyampaikan hadits yang telah diteliti kesahihannya, ataupun dia seorang yang menyampaikan hadits dengan sanad dan matannya serta perawinya dan kemudian dia menyebutkan derajat hadits tersebut.

Kesimpulan

Semua panduan di atas tidaklah dapat dicapai kecuali dengan jalan menuntut ilmu, mungkin ini berat bagi orang yang malas, sedangkan di dalam Islam segala-galanya berkisar kepada apa yang dikatakan oleh al-Quran dan Sunnah, dan orang-orang yang bertaqwa sahaja yang bersungguh-sungguh dalam memahami ilmu untuk kebaikan agamanya.

Jika ada yang berkata, “ini kerja para ulama mengapa pula kita perlu menyibukkan diri dalam urusan ini?”. Maka kami katakan, Ya ini memang tugas ulama, dan tugas kita adalah menelaah kitab-kitab ulama tersebut sebelum kita berbicara tentangnya (misalnya tentang hadits), Jadi kewajipan kita adalah dengan ittiba’ (mengikuti) kajian ulama-ulama tersebut, adakah ini perkara yang sukar?

Ya, boleh jadi ianya sukar bagi orang-orang yang malas dan bermudah-mudah dalam menyampaikan hadits, sedangkan Nabi shallallahu 'alahi wa sallam telah memperingatkan tentang hal ini. Bagi mereka yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka wajib ke atas mereka untuk melakukan hal yang telah disebutkan, kerana andai kata kita tersalah dalam menyampaikan hadits, contohnya kita mengatakan ini dari nabi, ini sunnah nabi namun pada hakikatnya tidak ada keterangan tersebut dari nabi, boleh saja kita terjerumus ke dalam hadits Nabi shallallahu 'alahi wa sallam dari Hudzaifah al-Yamani (dalam hadits yang panjang) :
“Aku (Hudzaifah) berkata : Dan apakah setelah kejelekan ini akan datang kebaikan?” Beliau shallallahu 'alahi wa sallam menjawab : “Ya, tetapi di dalamnya ada asap”. Aku bertanya : “Apa asapnya itu ?”
Beliau menjawab : “Suatu kaum yang membuat ajaran bukan dari ajaranku, dan menunjukkan (manusia) kepada selain petunjukku. Engkau akan mengenal mereka dan engkau akan memungkirinya”. Aku bertanya : “Apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan lagi ?”
Beliau menjawab :”Ya, (akan muncul) para dai-dai yang menyeru ke neraka jahannam. Barangsiapa yang menerima seruan mereka, maka merekapun akan menjerumuskan ke dalam neraka”. Aku bertanya : “Ya Rasulullah, sebutkan cirri-ciri mereka kepada kami ?”
Beliau menjawab : “Mereka dari kulit-kulit/golongan kita, dan berbicara dengan bahasa kita...” (Hadits shahih riwayat Muslim 12/235)”
Jadi sebaiknya kita mempersiapkan diri terlebih dahulu, minimum mengetahui hadits yang kita ingin sampaikan, apakah ianya sah dari Nabi shallallahu 'alahi wa sallam atau tidak. Allahu a’lam

Rujukan
1. Al-Masaail jil 1 dan 2 Ust Abd Hakim Amir Abdat Terbitan Darus Sunnah
2. Jami’ush Shaghir Muhammad Nasiruddin Albani (Maktabah Syamilah)

024 - Sikap berhati-hati dalam menyampaikan hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam -Siri 2-


Secara umumnya berita dan khabar yang sampai kepada seseorang boleh jadi ada yang benar ada yang tidak yakni tercampur hal yang dusta/palsu. Maka seseorang itu perlu memeriksa apakah benar berita yang sampai kepadanya. Jika berkaitan dengan hubungan sesama manusia Rasulullah telah mencegah kita dari menyampaikan berita yang kita dengar tanpa diperiksa, apatah lagi hukumannya jika orang yang menyampaikan perkataan yang dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, pastinya lebih keras lagi usaha kita untuk memeriksa apakah benar perkataan itu tadi berasal dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Oleh kerana itu di dalam Islam kita perlu mengambil apa-apa syariat mesti berdasarkan kepada ilmu. Jika hanya sekadar berdasarkan kepada kata-kata, maka boleh sahaja perkataan itu benar atau salah. Tentang hal ini, Allah mengatakan : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan (ilmu) tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. al-Isra’ 17:36)

Untuk seseorang muslim itu mengenal syariat Islam adalah melalui jalan menuntut ilmu, dengan ilmu baru terlaksananya ketaatan. Jika kita melakukan ketaatan tanpa ilmu, di akhirat kelak kita akan ditanya dari mana kita mengambil ilmu dan dari mana dasar amalan kita.

Peringatan kedua : Kesalahan dalam menyampaikan Hadits

Di dalam pepatah arab ada mengatakan “orang yang tidak memiliki, maka dia tidak dapat memberi”. Bermakna, orang yang tidak memahami ilmu hadits, maka dia akan sering keliru dalam menyampaikan hadits ataupun dia tidak dapat menyampaikan hadits sebagaimana tuntutannya.

Antara kesalahan yang sering kita temukan kepada orang-orang yang membawa hadits (semoga Allah memberikan kepada mereka kelebihan dalam menekuni ilmu hadits dan memperbaiki kesalahan mereka), adalah kesalahan dalam menambah-nambah (ziyadah) dalam lafaz hadits yang asal dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ataupun mereka menyampaikan terjemahan hadits namun ditokok tambahkan lagi lafaz-lafaz dalam riwayat sehingga merubah makna hadits tersebut. Ini terjadi kerana mereka tidak memiliki keahlian dalam menyampaikan hadits dengan arti kata yang lain, mereka jahil dalam ilmu ini sehingga menimbulkan kesalahan. Jika mereka hendak menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sepatutnya mereka melihat sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Apabila aku menyampaikan hadits kepada kamu, maka janganlah sekali-kali kamu memberikan tambahan (ziyaadah) atas (nama)ku.” (Hadits sahih riwayat Ahmad 5/11)

Kemudian kesalahan lainnya, tidak menyebut nama perawi-perawi hadits sehinggakan sukar bagi umat manusia untuk merujuk apakah benar perkataannya itu. Seperti riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibn Majah, at-Thahawi, at-Thayalisi dan lainnya.

Peringatan ketiga : Tidak mengetahui riwayat hadits yang disampaikan, apakah ia sahih atau tidak

Sebagaimana yang telah diterangkan pada awal perbahasan, seseorang itu tidak boleh memiliki sikap ragu dalam menyampaikan hadits kerana apabila dia ragu (zhan), namun dia tetap menyampaikan hadits tersebut tanpa keyakinan maka dia telah terancam dengan ancaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “meriwayatkan dariku) satu hadits yang dia sangka sesungguhnya hadits itu palsu/dusta, maka dia termasuk salah seorang dari pendusta ”. Hal ini menuntut seseorang itu perlu memiliki ilmu tentang kesahihan hadits tersebut, paling kurang dia telah meneliti kitab-kitab para ulama muhaqqiq (ulama peneliti hadits) seperti Imam-imam ahlu hadits.

Di sini saya bawakan satu contoh hadits yang telah diteliti kesahihahnnya iaitu hadits Fadhilat Surat Yasin.

Imam Tirmidzi meriwayatkan satu hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “ Sesungguhnya bagi setiap sesuatu itu memiliki hati, dan hati al-Quran itu ialah surah Yasin. Oleh kerana itu barangsiapa yang membaca surah Yasin, maka Allah akan memberikan pahala bagi bacaannya itu sama seperti pahala membaca sepuluh kali membaca al-Quran.” (Riwayat Imam Tirmidzi 4/64, Ad-Darimi 1/312)

Derajat hadits ini Dhaifun Jiddan (sangat lemah) bahkan ada ulama yang mengatakan maudhu’. Antara sanad hadits ini terdapat Harun Abi Muhammad. Imam Tirmidzi mengatakan bahawa perawi ini Syaikh Majhul (tidak dikenal sifat dan keadaan dirinya oleh ahli hadits). Berkata al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, “dengan ini kita mendapati bahawa Imam Tirmidzi telah melemahkan hadits ini”.

Kemudian Ibnu Hajar juga berkata sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Tirmidzi. Al-Imam Abu Hatim menyangkal bahawa di dalam sanad hadits ini terdapat seorang perawi yang bernama Muqatil. Bahawa perawi ini adalah Muqatil bin Sulaiman adalah seorang pendusta dan bukannya Muqatil bin Hayyan.

Telah sepakat para ulama ahlu hadits bahawa perawi yang majhul, hadits mereka termasuk ke dalam kategori hadits dhaif yang riwayatnya tidak diterima. Namun telah ada jarh (celaan) dari Imam Abu Hatim ke atas perawi di dalam hadits ini yang dituduh perndusta sehinggakan martabat hadits ini jatuh kepada hadits palsu dengan kesepakatan ulama. (Silakan merujuk kitab Silsilah Ahaadits Dhaifah no. 169)

Lihat, bagaimana para ulama mengumpulkan hadits kemudian mereka berusaha untuk mengenal para perawinya dan setelah itu baru mereka memasukkan hadits tersebut ke dalam kitab Sunan/Shahih mereka. Namun manusia itu memiliki kesilapan dan kesilapan yang dilakukan oleh ulama yang telah berijtihad (seperti ijtihadnya ulama ahlu hadits mengenai sahih atau tidak sesuatu hadits), maka mereka mendapatkan 1 pahala. Dan ini tidaklah bermakna umat perlu mengikut ijtihad mereka yang salah, kerana kita hanya diperintah untuk mengikut al-Quran dan Sunnah dan juga ahli zikir iaitu orang-orang yang ahli dalam keilmuan.

Para Imam kaum muslimin telah mewasiatkan bahawa hendaklah orang-orang yang mengikut ijtihad mereka mengetahui dari mana mereka mengeluarkan dalil dan kemudian mereka berpesan supaya umat tidak mengikut ijtihad/pendapat mereka yang salah. Sebagaimana pesanan Imam Syafi’e : “Apabila kamu mendapati di dalam bukuku sesuatu yang bertentangan dengan hadits Rasulullah  maka berpeganglah kepada hadits tersebut dan tinggalkanlah apa yang telah aku katakan itu.” (Riwayat Khatib al-Baghdadi dan Imam an-Nawawi di dalam Syarh al-Muhazzab 1/63)

Ini bukanlah ertinya kita merendahkan-rendahkan para imam mujtahid (yang telah berijtihad) kerana kesalahan mereka dan tidak pula kita memaksum (mengatakan mereka bebas dari kesalahan)-kannya, sedangkan setiap manusia tidak terlepas dari kesalahan.

Sedangkan apabila kita mengikut wasiat mereka, hal ini lebih mereka redhai berbanding kita mengikut ijtihad mereka yang salah, dan tidak ada para ulama yang mewajibkan umat mengikut mereka kecuali mereka menasihati umat supaya berpegang teguh dengan al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi mereka melarang orang ramai untuk mengikut mereka hanya berdasarkan taqlid tanpa mengetahui dari mana mereka mengambil dalil. Imam Syafie berkata : “Kaum muslimin telah sepakat bahawasanya barang siapa yang telah jelas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baginya, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut dikeranakan perbuatan siapapun.” (I’lamul Muwaqqi’en 2/282)

Kerana itu, orang yang membawakan hadits wajib memikul amanah sebagaimana yang telah dikemukan seperti di atas. Bukan bermakna mereka perlu menghafal ribuan hadits kemudian baru menyampaikan pada umat, tidak demikian. Apa yang dimaksudkan di sini ialah, jika mereka cinta kepada agama ini dan ingin menyebarkan islam, mereka perlu menyampaikannya sebagaimana yang dituntut.

Cuba perhatikan bagaimana para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bermuamalah dengan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berkata Abdurrahman bin Abi Laila : Kami pernah berkata kepada Zaid bin Arqam, “Ceritakanlah kepada kami (hadits-hadits) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam !”. beliau menjawap, “Kami telah tua dan lupa, sedangkan menceritakan hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sangatlah berat.” (Atsar ini sahih riwayat Ibnu Majah no. 25).

Kemudian perhatikan lagi perkataan ulama iaitu Imam Ahmad bin Hanbal : “Apabila kami meriwaytakan hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang halal dan haram dan Sunnah-Sunnah dan hukum-hukum, nescaya kami keraskan yakni kami periksa dengan ketat sanad-sanadnya”. (Sahih riwayat Imam Khatib al-Baghdadi di dalam kitab al-Kifaayah fi Ilmimr Riwaayah ms.134)


023 - Sikap berhati-hati dalam menyampaikan hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam -Siri 1-

Sikap berhati-hati dalam menyampaikan hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :“Barangsiapa yang berdusta ke atas (nama)ku dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di dalam neraka.” (Hadits Sahih Mutawatir riwayat Bukhari 1/36 dan Muslim 1/8)


Dari Abu hurairah, dia berkata : telah bersabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam; “Barangsiapa yang mebuat-buat/mengada-adakan perkataan atas (nama)ku yang (sama sekali) tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di neraka” (Hadits Sahih riwayat Imam Ahmad 1/321 dan Ibnu Majah no.34)


Sabdanya lagi, “Barangsiapa yang menceritakan dariku (di dalam riwayat yang lain : meriwayatkan dariku) satu hadits yang dia sangka (dalam lafaz yang yang lain: yang dia telah mengetahuinya) sesungguhnya hadits itu palsu/dusta, maka dia termasuk salah seorang dari pendusta (dalam lafaz lain : Dua pendusta).”(Hadits shahih riwayat Muslim 1/7, at-Thahawi Musykilul Atsar 1/175)


Berkata Imam Ibnu Hibban : “Di dalam khabar (hadits) ini terdapat dalil tentang sahnya apa yang telah kami terangkan. Yaitu bahawa seseorang yang menceritakan satu hadits yang tidak sah datangnya dari nabi, apa-apa sahaja hadits yang diada-adakan orang atas nama beliau r sedangkan dia mengetahuinya maka dia termasuk salah seorang dari para pendusta. Bahkan zahir khabar (hadits) ini lebih keras lagi kerana beliau telah bersabda “Barangsiapa meriwayatkan dariku satu hadits yang dia sangka hadits tersebut palsu...”. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan orang itu telah yakin bahawa hadits tersebut palsu (yakni dia baru menyangka saja atau zhan semata bahawa hadits tersebut dusta, dia telah berkata dengan ancaman hadits di atas iaitu sebagai salah seorang pendusta). Maka setiap orang yang ragu-ragu tentang apa-apa yang dia sandarkan kepada Nabi, sahih atau tidaknya, maka dia telah termasuk ke dalam pembicaraan zahirnya khabar (hadits) ini.” (adh-Dhu’afaa juz 1 ms. 7-8)


Pengajaran yang dapat kita ambil dari hadits di atas ialah, larangan menyampaikan hadits dalam keadaan kita tidak mengetahui sama ada hadits tersebut ber-status sahih atau tidak. Ini telah diterangkan oleh al-Imam Ibnu Hibban.


Kemudian berkata Imam at-Thahawi ketika mensyarahkan hadits di atas : “Barangsiapa yang menceritakan (hadits) dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tanpa hak, berarti dia telah menceritakan hadits dari beliau r dengan cara yang batil. Dan orang-orang yang menceritakan (hadits) dari beliau dengan cara yang batil nescaya dia menjadi salah seorang pendusta yang masuk ke dalam sabda nabi : “Barangsiapa yang berdusta ke atas (nama)ku dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di dalam neraka.” (Musykilul Atsar juz 1 ms. 176)


Dari hadits di atas, kita dapat mengetahui bahawa akan ada kelompok yang memalsukan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Kerana itu Nabi telah memperingatkan kita tentang hal ini. Dan para ulama hadits dari dahulu hingga kini telah menghabiskan keringat mereka untuk meneliti hadits-hadits yang tercatat di dalam kitab Sunan. Jika kita meneliti perjalanan para ulama hadits, dapat kita fahami bahawa usaha mereka dalam menjaga syariat ini dari tangan-tangan kotor para penyeru kesesatan yang membuat hadits yang palsu. Semua usaha yang mereka curahkan adalah kerana kecintaan mereka yang mendalam terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam merealisasikan kecintaan mereka kepada Allah. Semoga Allah menganugerahkan kepada mereka ganjaran yang setimpal.


Peringatan kepada mereka-mereka yang menyampaikan Hadits


Dari Abi Qatadah, dia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah r bersabda di atas mimbar ini. “Awasilah kamu dari memperbanyak (meriwayatkan) hadits dariku! Maka barangsiapa yang berkata ke atas (nama)ku hendaklah dia berkata yang hak dan benar.” Di dalam riwayat yang lain, “Barangsiapa yang berkata di atas (nama)ku, maka janganlah sekali-sekali dia ucapkan kecuali yang hak atau benar.” Kerana barangsiapa yang membuat-buat perkataan atas (nama)ku apa-apa yang tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di dalam neraka.” (Hadits sahih riwayat Ibnu Majah no. 35, Ahmad 5/267)


Peringatan pertama : Menukil apa yang ia dengar


Ketika menyampaikan hadits dari Nabi r hendaklah orang itu tau dari mana dia mengambil hadits tersebut. Jika seandainya dia hanya mendengar dari orang kemudian dia terus membawakan hadist tersebut, dikhuatiri orang ini terancam sebagai orang yang berdusta, kerana Nabi r bersabda : “Cukuplah seseorang itu dianggap berdusta apabila dia menceritakan sesuatu yang dia dengar.” (Hadits Sahih riwayat Muslim 1/8, Abu Dawud no. 4992)


Umar al-Khattab berkata : “Cukuplah seseorang itu dianggap turut berdusta apabila dia menceritakan segala sesuatu yang dia dengar.” (Riwayat Muslim 1/8)


Imam Malik rahimahullah berkata : “Ketahuilah! Sesungguhnya tidak akan selamat (dari dusta) orang yang menceritakan segala sesuatu yang dia dengar. Dan tidak boleh dia menjadi imam sedangkan dia menceritakan segala sesuatu yang dia dengar.”


bersambung...